Legal Realism sebagai Kritik atas Legal Positivism

Syamsul Arifin
 
- 
Realisme hukum merupakan sebuah teori bahwa semua hukum berasal dari kepentingan sosial yang berlaku dan kebijakan publik. Menurut teori ini, hakim tidak hanya mempertimbangkan aturan abstrak, tetapi juga kepentingan sosial dan kebijakan publik ketika memutuskan suatu perkara. Realisme hukum berbeda dengan formalisme hukum. Kedua teori tersebut dapat dipahami secara deskriptif, preskriptif, atau keduanya sekaligus. Realisme hukum dalam hal ini lebih mengutamakan sesuatu berdasarkan fakta yang sebenarnya dengan melihat kenyataan yang terjadi dalam setiap kasus, sehingga diharapkan proses peradilan dalam hukum dapat menangani setiap kasus yang tidak hanya berdasar pada teks tertulis yang menjadi acuan sebagai penguat hukum dalam peradilan, tetapi juga berdasar fakta rasionalis yang dapat dikontekstualisasikan untuk menyelesaikan suatu persoalan.
  • Legal Realism

Teori hukum realis melibatkan perspektif "realis" dan "naturalistik" pada hukum. Karena realisme berarti memahami realitas, realis tentu berkaitan dengan naturalis. Dalam hal ini realisme menggambarkan dan menjelaskan apa yang benar-benar terjadi dengan mengandalkan mekanisme dan entitas yang bermanfaat dalam ilmu empiris. Naturalisme adalah komitmen penting kedua dari yurisprudensi realis. Dari sejarah realisme hukum, Skandinavia adalah  yang paling eksplisit tentang komitmennya terhadap naturalisme, sedangkan Italia dan Amerika, dengan cara yang berbeda, mengandaikan pandangan dunia yang naturalistik. 

  • Sejarah Munculnya Realisme Hukum

Realisme hukum muncul pada awal abad ke-20. Realisme hukum pada dasarnya bukan merupakan suatu aliran melainkan gerakan, yaitu gerakan yang dipelopori oleh para hakim. Gerakan ini diawali oleh sejumlah hakim yang pada dasarnya menentang positivisme hukum (analytical jurisprudence). Gerakan realisme hukum tersebut pusatnya di Amerika Serikat, sehingga gerakan tersebut dinamakan sebagai American Legal Realism, walaupun di beberapa negara yang ada di Eropa terdapat pula gerakan-gerakan seperti itu. Pelopor dari kalangan hakim antara lain seorang hakim dari United States Supreme Court, bernama Oliver Wendel Holmes (1841-1935), dengan karyanya yang berjudul The Common Law, kemudian ada Jerome Frank (1889-1957). Tokoh yang lain, bernama John Chipman Gray yang kemudian terkenal dengan teori keputusan yang memengaruhi pandangan seorang Ter Haar mengenai hukum adat. Selain yang terdapat di Amerika Serikat, ada pula di Skandinavia yang berkembang aliran semacam ini dengan dipelopori oleh seseorang yang bernama Axel Hegerstrom, Lunstedt, Olivercrona dan Ross. (Prof. Dr. Telly Sumbu, SH, MH. dkk. 2016: 37).

Gerakan atau aliran ini sering dikatakan bahwa hukum adalah apa yang dibuat oleh para hakim. Sebab, bentuk pertentangan dari aliran positivisme hukum merupakan suatu kontekstual yang sangat berlandaskan teks perundang-undangan, sedangkan dari realisme hukum sendiri, fleksibilitas itu sangat mungkin untuk mengetahui atau pun menyingkap suatu kebenaran atas realitas yang ada.

Holmes pernah menulis dalam karyanya yang berjudul Common Law yang terbit pada 1881, ia menulis: 

The life of law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the times, the prevalent moral and political theories, intuitions of public policy, avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow-men, have had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed

Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, maka didapat arti sebagai berikut:

Kehidupan hukum bukanlah logika, melainkan pengalaman. Perasaan tentang kebutuhan jaman, teori-teori moral dan politik yang lazim, intuisi kebijakan-kebijakan publik, yang diakui maupun yang tanpa sadar, bahkan praduga-praduga yang dirasakan hakim sebagaimana dirasakan oleh sesama warganya, merupakan kaitan yang lebih tepat daripada silogisme dalam menentukan peraturan yang mengatur manusia.” (Prof. Dr. Telly Sumbu, SH, MH. dkk. 2016: 38).

Dalam hal ini, jelas dikatakan bahwa realisme hukum lebih mengutamakan pada realitas, dan untuk mengetahui hukum apa yang sesuai untuk suatu persoalan, maka dibutuhkan interpretasi subjektif dari para hakim sebagai bentuk representasi dari warganya. Hukum-hukum yang berupa kontekstual seperti yang terjadi pada aliran positivisme terkadang hanya membuat proses pelaksanaan hukum itu berdasarkan undang-undang yang berlaku, namun wajah hukum itu sendiri terkadang tidak sesuai dengan realitas yang menjadi persoalan dalam mendapatkan ketentraman sebagai negara yang mengharapkan keadilan dengan cara yang paling benar dan tepat. Oleh karena itu, terdapat kritik atas positivisme hukum dari para tokoh yang berdiri atas keyakinannya terhadap realisme hukum. Kritik tersebut bertujuan untuk mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya, dan juga hasrat untuk menuntaskan persoalan yang kadang-kadang melenceng jika sudah menapaki jalur hukum yang tidak dapat kesesuaian dalam menyelesaikan suatu persoalan-persoalan yang ada.

  • Konsep Aliran Realisme Hukum dan Kritik atas Positivisme Hukum

Salah satu tokoh pendiri realisme hukum bernama Oliver Wendel Holmes Jr dari Amerika yang sering juga dikatakan sebagai ahli hukum, dia menyuarakan banyak tema dalam aliran realisme hukum. Tema yang paling utama adalah perbedaan antara hukum dan moralitas, tema ini juga terkait dengan positivisme hukum. Oliver mengatakan bahwa hukum seringkali wajahnya tidak pasti dalam penerapannya pada kasus-kasus tertentu, dan ia juga mencurigai bahwa hakim dalam memutuskan kasus sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan non-hukum. Selain itu, tokoh yang bernama Llewellyn mengatakan bahwa kebanyakan kasus yang mencapai tingkat banding, hukum umumnya tidak dapat ditentukan dalam artian bahwa sumber hukum yang berwenang tidak dapat membenarkan keputusan yang unik. Hal ini berujung kepada ketidakpastian yang disebabkan oleh adanya interpretasi yang bertentangan tetapi dapat dikatakan sama-sama sah untuk sumber-sumber yang digunakan tersebut, sehingga dalam hal ini Llewellyn kemudian mengatakan bahwa sumber-sumber hukum dapat dibaca dengan dua cara yang berbeda, misalnya ia mencontohkan bahwa pengadilan Amerika Serikat telah mendukung dua prinsip konstruksi undang-undang yang bersifat kontradiktif, yaitu: “Sebuah undang-undang tidak dapat melampaui teksnya” dan “Untuk mencapai tujuannya, undang-undang dapat diterapkan di luar teksnya”. Dalam hal ini jelas bahwa terdapat dua prinsip yang kontradiktif, dan ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Oliver bahwa terkadang hukum tidak memiliki wajah yang pasti.

Realis termotivasi oleh adanya keyakinan bahwa ilmu hukum telah mengalami stagnansi pada abad kesembilan belas dan bahwa hukum haruslah dapat lebih responsif terhadap masyarakat yang berubah (Zaremby, Justin. 2014: 87). Oleh karena itu, realisme hukum lebih menekankan pada hukum apa yang lebih tepat untuk digunakan dengan melihat pada realitas persoalan yang terjadi dan tidak hanya berdasar pada teks hukum yang bersifat stagnan. Terdapat perbedaan antara realisme hukum dengan positivisme hukum, perbedaan tersebut dapat dilihat pada konteks hukum yang sudah ada. Positivis mengedepankan data dan fakta, sedangkan untuk realis, fakta dan data tersebut dapat sewaktu-waktu tergeser oleh interpretasi dengan melihat pada kenyataan dan pandangan hukum yang mungkin berubah atau yang tidak sesuai dan setimpal dengan kenyataan. 

Realisme hukum membuat adanya diversifikasi dalam cara pandang mengenai hukum yang bersifat legalistik, formalistik, dan prosedural. Hal ini dapat dikatakan sebagai belenggu dari aliran positivis. Ada beberapa kritik yang muncul dari situasi keterpurukan seperti ini, salah satunya yaitu dari Achmad Ali, ia mengatakan bahwa jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum semacam ini, maka kita harus dapat terlepas dari belenggu positivisme. Sebab menurutnya bahwa jika hukum hanya mengandalkan legal-positivism, maka yang terjadi adalah kita tidak akan mampu untuk menangkap hakikat kebenaran. Legal positivism berbasis pada aturan secara kontekstual, sehingga tidak akan efektif untuk menangkap hakikat kebenaran jika hanya terpaku pada peraturan tertulis (Ali, Ahmad: 2001).

Konsepsi dalam aliran realisme hukum ini jelas bahwa hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Sumber dari pemikiran hukum pada aliran ini adalah logika dan pengalaman, oleh karena itu sering juga disebut sebagai pragmatic legal realism, atau realisme hukum yang bersifat pragmatik, yang memiliki manfaat atas interpretasi hukum yang tepat dengan berdasar kepada pengalaman dan penalaran logis dari setiap penyelesaian kasus-kasus hukum yang terjadi. Aliran realisme ini juga sebenarnya dapat digolongkan juga ke dalam aliran positivisme hukum, hanya saja dalam realisme hukum, mereka menempatkan hakim itu sebagai sumber hukum yang terpenting, bukan lah undang-undang seperti apa yang ditegaskan oleh aliran positivisme hukum.

Aliran realisme hukum juga berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai kemudian adanya putusan hakim dari pengadilan terhadap apa yang akan menjadi putusan itu, apa yang kemudian dianggap sebagai hukum dalam setiap karya tulis atau pun buku-buku, itu hanya baru merupakan sebuah tafsiran, seperti itulah kira-kira jika hakim akan membuat suatu putusan, jika kemudian perkara tersebut diajukan kepadanya.

Jika dilihat dari konteks di atas, bahwa realisme merupakan suatu reaksi atas aliran positivisme hukum atau legal positivism. Jika dalam aliran positivisme, hakim dianggap sebagai sebuah komputer yang bertugas untuk melaksanakan hukum dengan menggunakan logika dan silogisme yang ada atau di sini dapat dikatakan bahwa hakim sebagai terompet bagi undang-undang. Maka untuk memperjelas hal ini, kaum realis ingin memberikan suatu keleluasaan kepada para hakim untuk menggunakan analogi-analogi dalam memutuskan suatu perkara agar mempermudah interpretasi atas perkara dengan melakukan penyederhanaan dengan analogi sebagai alatnya.

Oleh sebab itu, aliran ini memiliki konsep yang cukup radikal mengenai proses peradilan, di mana mereka berpendapat bahwa para hakim tidak saja menemukan suatu hukum, melainkan juga membentuk hukum. Maka di sini terlihat bahwa hukum itu berfungsi sebagai putusan pengadilan atau decision of court, seperti yang kemudian dijelaskan oleh pakar-pakar dari para realis terkemuka, sebagai pendiri dari aliran tersebut, seperti John Chipman Gray, Karl Llewellyn, Oliver Wendell

Holmes, Jerome Frank, William James, dan tokoh-tokoh yang lainnya.
Jika mengambil salah satu tokoh di atas, John Chipman Gray sebenarnya merupakan salah satu penganut aliran positivisme hukum yang kemudian menentang disangkutpautkannya ilmu hukum dengan ideologi-ideologi (etika, agama, dan hukum alam). Namun karena John Chipman Gray sekarang merupakan seorang realis, ia kemudian tidak lagi menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum-positivis tetapi sudah menganggap bahwa hakim sebagai sumber hukum dan merupakan pusat dari hukum.

Realisme hukum mengutamakan pengalaman dan logika karena menurut para pakar realis, jika hanya berlandaskan logika yang merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan atau pembentukan perundang-undangan, maka ada unsur lain yang juga memiliki peran yang sangat penting, yakni unsur kepribadian, unsur prasangka dan juga unsur-unsur lain yang berada di luar logika yang berpengaruh sangat besar dan berguna. Dalam pembuktian pandangannya, John Chipman Gray mengemukakan contoh dari sejarah hukum negara Inggris dan Amerika Serikat yang kemudian menunjukkan bagaimana faktor-faktor di politik, ekonomi, dan kualitas individual hakim yang merupakan sesuatu yang dapat memberi pengaruh besar terhadap penyelesaian suatu perkara-perkara yang penting bagi seluruh warganya atau pun jutaan manusia selama berabad-abad. Oleh karena itu, John Chipman Gray kemudian memelopori pendekatan atas cara menafsirkan tidak semata-mata pada faktor yang berada di dalam logika, namun juga faktor yang berada di luar logika. Oleh sebab itu, John Chipman Gray mengutarakan semboyannya yang sampai saat ini sangat masyhur, yaitu “all the law is judge made law” atau jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, maka didapat “semua hukum adalah hukum yang dibuat oleh Hakim”

Selain John Chipman Gray, ada pula pendapat yang diutarakan oleh salah satu pakar realis juga yang bernama Oliver Wendell Holmes, yang pada intinya ia mengatakan bahwa hukum itu adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan dalam realitasnya. Selain aliran realisme hukum ini berkembang di negara Amerika Serikat, aliran realisme hukum ini juga berkembang di negara Skandinavia atau sering dikatakan juga sebagai Realis Skandinavia, dan para penganutnya adalah Axel Hagerstrom, Olivecrona, Alf Ross dan Lunstet.
Adapun ciri-ciri dari gerakan realis dari Skandinavia adalah sebagai berikut: 

a.    Merupakan cara berpikir, para ahli hukum modern Skandinavia yang tidak ada persamaannya dengan negara-negara lain. Dengan realis Amerika, hanya persamaan nama. Tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.

b.    Merupakan filsafat yang memberikan kritik-kritik terhadap metafisika hukum (Alf Ross menyatakan bahwa tidak setuju adanya metafisika dalam hukum karena dianggap tidak realis).
Penganut gerakan ini menolak berlakunya hukum alam (Sucipto, Urip. 2013: 58).

  • Komponen dalan sistem hukum

Dalam menegakkan hukum, tentu tidak terlepas dari pengertian sistem hukum itu sendiri. Sistem hukum memiliki tiga komponen penting yang saling mengikat, di antaranya yaitu struktur hukum, instansi hukum, dan budaya hukum. Lawrence Meir Friedman mengatakan bahwa sistem hukum itu terdiri dari tiga komponen yang saling memengaruhi satu sama lain:

1.    Struktur hukum atau Legal Structure adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur mencakup dua hal, yaitu: kelembagaan hukum dan aparatur hukum. 

2.    Substansi hukum atau Legal Substance mencakup peraturan yang tidak hanya pada perundang-undangan positif saja, akan tetapi termasuk norma dan pola tingkah laku yang hidup dalam masyarakat. Penekanannya terletak pada hukum yang hidup, bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum.

3.    Budaya hukum atau Legal Culture adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. (Komisi Yudisial Republik Indonesia, 24).

Oleh sebab itu, dalam hukum, sistem hukum adalah yang paling penting sebagai sistem yang akan mengatur berjalannya hukum, kemudian ditopang oleh aliran-aliran apa saja yang kemudian dapat menjadi alat sebagai tujuan pelaksanaan peradilan hukum.

REFERENSI

Ali, Achmad. 2001. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ghofur Anshori, Abdul. 2018. Filsafat Hukum, Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

https://www.britannica.com/topic/philosophy-of-law/Realism, diakses pada 17 Februari 2022

https://www.law.cornell.edu/wex/legal_realism, diakses pada 17 Februari 2022.

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2014. Problematika Hukum dan Peradilan di Indonesia.




Posting Komentar

0 Komentar