Implementasi Renstra Ketahanan Pangan Nasional dalam peningkatan SDG’s Sudahkah Berjalan Konsisten?

Alva Rizky
 

-

Pangan merupakan suatu kebutuhan yang paling mendasar dan menjadi prioritas yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Pangan menjadi salah satu kepentingan yang fundalmental sebab pangan bagian dari hak asasi setiap masyarakat di negara tersebut. Istilah ketahanan Pangan merupakan konsep yang baru muncul Ketika dilaksanakan “First World Food Conference” tahun 1975 melalui itu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefenisikan “Ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan, dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga” Adapun menurut FAO (Food and Agricultural Organization)1992, ketahanan pangan adalah situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki ketercukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif (Winarno 2014). Ketahanan pangan menjadi hal yang urgensi untuk dipenuhi karna menyangkut keberlangsungan generasi manusia kedepan. 

Pemerintah Indonesia sendiri mendefenisikan Ketahanan Pangan termuat pada Undang Undang No 18 (2012) Pasal 1 dimana ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Dalam meningkatkan parstisipasi aktif Indonesia yang diusung oleh PBB melalui agenda tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030 sebagai kesepakatan pembangunan global (Suistainable Development Goals 2017). Salah satunya berkaitan pada indicator mengakhiri kelaparan yang menjadi sasaran target indonesia untuk meningkatakan ketahanan pangan nasional. Dari beberapa definisi dipaparkan diatas dapat dikonklusikan bahwa kebijakan ketahanan pangan diharapkan dapat memenuhi berbagai factor, seperti ketersediaan (available), aksesibilitas (accessability) kestabilan (stability) dan keamanan (safety). Oleh karena itu, dalam merumuskan kebijakan ketahanan pangan sebuiah negara sangat penting melihat mekanisme apa yang dipakai (Winarno 2014).

Ketahanan pangan

Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah mengarusutamakan Sustainable Development Goals (SDGs). Target-target dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) beserta indikatornya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam 7 agenda pembangunan Indonesia ke depan. Komitmen pemerintah dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan berdasar pada Peraturan Presiden nomor 18 tahun 2020 bahwa pertanian merupakan salah satu sector dalam menunjang perekonomian Indonesia. 

Dalam melihat Tantangan kondisi Indonesia pengelolaan sumber daya pangan dan pertanian menghadapi isu semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan dan air sebagai dampak dari peningkatan aktivitas perekonomian. Kondisi ini menyebabkan peningkatan persaingan dalam pemanfaatan lahan dan air, khususnya di antara sektor pertanian, industri pengolahan, dan perumahan. Disisi lain kebutuhan pangan mengalami peningkatan seiring bertambahnya populasi penduduk, Adapun dalam produksinya pangat sangat rentan dipengaruhi oleh musim, serta ketersediaan dan kehandalan sarana prasarana produksi termasuk irigasi. Tantangan tersebut tentunya menjadi problematika yang perlu pemerintah Indonesia untuk meminimalisir dan mengupayakan hal yang sifatnya preventif.

Jika kembali mengacu pada langkah yang dilakukan pemerintah dalam perpres Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun (2020) dalam hal pangan dan pertanian akan tantangan yang dihadapi Indonesia yakni dengan Peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan yang dilaksanakan dengan strategi: 

1) meningkatkan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan;

2) meningkatkan ketersediaan pangan hasil pertanian, perikanan dan pangan hasil laut terutama melalui peningkatan produktivitas dan teknik produksi secara berkelanjutan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kebutuhan pokok; 

3) meningkatkan produktivitas, kesejahteraan sumber daya manusia (SDM) pertanian, perikanan serta kepastian pasar; 

4) menjaga keberlanjutan produktivitas sumber daya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, sistem pertanian presisi, pengelolaan lahan dan air irigasi; 

5) serta meningkatkan tata kelola sistem pangan nasional

Langkah yang telah di canangkan oleh pemerintahan Indonesia melalui RPJMN 2020-2024 diharapkan dapat meningkatkan kualitas serta ketahanan pangan yang dimana kementrian pertanian (Kementan) serta Badan Ketahanan Pangan (BKP) menjadi Lembaga dalam memfokuskan masalah ini. 

Indonesia sebagai Aktor yang wajib memenuhi pangan nasional dan lokal

Dalam undang undang tentang Pangan nomor 18 tahun (2012) pada pasal 1 menjelaskan bahwa pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem Pangan yang memberikan pelindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan.

Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, diperlukan kelembagaan Pangan yang memiliki kewenangan dalam membangun koordinasi, integrasi, dan sinergi lintas sektor. Kelembagaan tersebut melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi Penyelenggaraan Pangan yang mencakup perencanaan Pangan, Ketersediaan Pangan, Keterjangkauan Pangan, konsumsi Pangan dan Gizi, Keamanan Pangan, label dan iklan Pangan, pengawasan, sistem informasi Pangan, penelitian dan pengembangan Pangan, kelembagaan Pangan, peran serta masyarakat, dan penyidikan. Undang-Undang tentang Pangan ini menyesuaikan dengan perkembangan eksternal dan internal mengenai Pangan di Indonesia, seperti demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan kondisi aktual masyarakat Indonesia. 

● Peran Lembaga dalam Ketahanan Pangan Nasional

Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RPJMN 2020-2024 pemerintahan Indonesia berkewajiban dalam pemenuhan kebutuhan serta ketahanan pangan. Dalam hal ini Lembaga menjadi penanggung jawab atas isu masalah yang dialami nasional dalam ketahanan pangan Lembaga kementrian pertanian (Kementan) serta Badan Ketahanan Pangan (BKP) menjadi Lembaga dalam memfokuskan urgensi terkait pangan. Adapun kewenangan Kementan yang selanjutnya diturunkan kebijakan yang setiap daerah perlu untuk implementasikan. Mengacu pada Undang- undang tentang pangan (2012) dalam BAB III Pasal 11 dijelaskan bahwa Rencana Pangan nasional sekurang-kurangnya memuat: kebutuhan konsumsi Pangan dan status Gizi masyarakat; Produksi Pangan; Cadangan Pangan terutama Pangan Pokok, Ekspor Pangan, Impor Pangan; Penganekaragaman Pangan, distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan, terutama Pangan Pokok, stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, Keamanan Pangan, penelitian dan pengembangan Pangan, kebutuhan dan diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Pangan.

Dalam perumusan kebijakan dalam ketersediaan pangan pemerintah perlu mengacu pada Undang-undang nomor 18 tahun (2012) Memuat pada Bab IV pasal 39 tentang Ketersediaan Pangan Pemerintah yang menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Namun dalam realitasnya Lembaga masih gagal menerapkan kebijakan ini dimana dalam kebijakan Impor beras yang dapat membunuh petani Indonesia. 

Pemerintah memiliki alasan dalam Tindakan preventif terhadap krisis pangan yang mungkin terjadi kebijakan impor beras juga dilakukan untuk menjamin ketersediaan stok beras nasional sepanjang tahun 2021 serta adanya potensi kenaikan produksi beras di setiap provinsi tak merata sehingga memunculkan daerah surplus dan deficit (Judith J 2021). Pola pemerintah menjadikan hal ini sebagai dalih untuk mengimpor beras. Padahal, pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri melalui petani ataupun produk yang dihasilkan oleh negara kita dan melihat solusi persoalan ini Lembaga perlu untuk mengkontrol serta penguatan koordinasi antardaerah. Perlu disadari melalui kebijakan impor beras memiliki dampak yang kurang baik bagi sektor pertanian dalam negeri, khususnya bagi para petani. Ketika Pemerintah mulai mewacanakan kebijakan ini, harga gabah di pasaran langsung tertekan dan sangat merugikan petani, walaupun pada akhirnya belum tentu juga kebijakan ini direalisasikan. (Surya 2021).

Ketika kembali berkaca pada peran pemerintah dan Lembaga perlu menyelenggarakan program Pengawasan pangan yang tercantum pada Bab IX dalam undang undang nomor 18 tahun (2012) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan akan ketersediaan dan/atau kecukupan Pangan Pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat; dan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta persyaratan label dan iklan Pangan. Selanjutnya adanya Pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Peredaran Pangan oleh Pelaku Usaha Pangan. tercantum pada bab IX terkait pengawasan pangan. 

Jika dikaitkan dengan kasus sebelumnya Tindakan impor yang dilakukan pemerintah pastinya akan berdampak pada produsen khusunya petani local, yang produksinya tidak terserap di pasar. Memang perlu diperhatikan dalam ketersediaan pangan namun perlunya suatu kebijakan yang kongkret yng tidak merugikan produk local Indonesia. Sebagaimana dalam produksi gula yang dimana Indonesia pun ingin melakukan impor gula sehingga gula hasil produksi petani tebu local kita tidak terserap optimal di pasar pada kuartal III-2021. Hal itu disinyalir karena adanya persetujuan impor 3,1 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) atau gula rafinasi untuk industri makanan, minuman, dan farmasi pada tahun ini (Sabini, Utomo S, and Eko 2021).

Mestinya, pihak yang terlibat mengelola kualitas, persedian dan ketahanan pangan seperti Kementerian Pertanian perlu mempertimbangkan kembali akan konsekuensinya. Sebagaimana mengacu pemerintah dalam perpres Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun (2020) yang mengatakan bahwa meningkatkan ketersediaan pangan hasil pertanian, perikanan dan pangan hasil laut terutama melalui peningkatan produktivitas dan teknik produksi secara berkelanjutan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kebutuhan pokok tentunya dengan hadirnya impor yang tidak memperhatikan dampak pada produksi local akan menghambat pembangunan ekonomi indonesia. Dalam melihat ini tentu pilihan yang baik dengan melindungi serta melakukan proteksi terhadap kehidupan ekonomi para petani. Konsekuensi dari proteksi ekonomi petani kecil itu adalah dengan cara membatasi importasi.

● Kesimpulan

RPJMN 2020-2024 yang merupakan bentuk konkret dari keaktifan Indonesia dalam mendukung agenda tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan oleh PBB yang dimana dalam indicator penghapusan kemiskinan, ketahanan pangan menjadi hal yang urgensi dan merupakan renstra nasional yang harus dipenuhi. Adapun dalam undang undang telah disebutukan bahwasannya pangan merupakan hak rakyat yang perlu negara upayakan untuk keberlangsungan hidup kedepan serta dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, diperlukan kelembagaan Pangan yang memiliki kewenangan dalam membangun koordinasi, integrasi, dan sinergi lintas sektor. Kelembagaan tersebut melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Namun, dalam implementasinya hal tersebut memicu bentuk kebijakan yang inkonsistensi, pemerintah mewacanakan kebijakan yang justru merugikan produksi pangan serta pertanian dalam negeri yang seharusnya hal ini perlu dipertimbangkan mengingat negara kita perlu swasembada pangan tanpa ketergantungan dengan negara lain. Jika kita lihat kembali, bahwa kita memiliki SDA yang kaya dan melimpah pemerintah perlu untuk menggali potensi yang dimiliki oleh hasil produksi local untuk menunjang ekonomi dalam negeri dan mensejahterakan rakyat. Seharusnya Lembaga pemerintahan berkosentrasi dalam mengutakan produsen pangan local serta pelaku usaha kecil lainnya karena Indonesia dalam undang undang nomor 18 tahun 2012 terdapat konsep kedaulatan pangan. Artinya, panagn bergantung pada kemampuan bangsa dalam menciptakan inovasi teknologi di bidang Pangan serta mendiseminasikannya kepada Pelaku Usaha Pangan Sudah seharusnya pemerintah stop kebijakan impor yang hanya menguntungkan para pemburu rente. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Judith J, M Paschalia. 2021. “Impor Bukan Solusi Defisit Antarwilayah.” Kompas.Id. March 13, 2021. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/03/13/impor-bukan-solusi-defisit-antarwilayah/.

Peraturan Presiden (PERPRES). 2020. Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 18 Tahun 2020 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Indonesia.

Sabini, Fredrikus Wolgabrink, Selocahyo Basoeki Utomo S, and S Eko. 2021. “Badan Pangan Harus Hentikan Impor Yang Membunuh Petani - Koran-Jakarta.Com.” Koran Jakarta. September 29, 2021.

https://koran-jakarta.com/badan-pangan-harus-hentikan-impor-yang-membunuh-petani.
Suistainable Development Goals. 2017. “Apa Itu SDGs.” 2017. https://www.sdg2030indonesia.org/page/8-apa-itu.

Surya, T. Ade. 2021. “Polemik Impor Beras Tahun 2021.” Info Singkat XIII (6): 19–24. https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info Singkat-XIII-6-II-P3DI-Maret-2021-247.pdf.

Undang-undang (UU). 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Indonesia.

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

Posting Komentar

0 Komentar