Catatan menyakitkan tertulis dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang sekarang lebih dikenal sebagai salah satu negara demokrasi dengan partisipan rakyat terbesar ketiga di dunia. Negara ini dibangun melalui konsensus beberapa golongan/kelompok rakyat dari berbagai daerah yang memiliki rasa senasib sepenanggungan dan akar sejarah yang sama, yaitu kolonialisasi bangsa Eropa. Benih-benih persatuan sudah mulai tampak saat mulai dibangunnya forum-forum kerakyatan yang didominasi komunitas progresif dan kaum muda dari berbagai latar belakang, seperti ideologi politik, kedaerahan/kesukuan, maupun sektoral keagamaan. Persatuan yang paling dikenal yaitu arena ‘kongres pemuda’, baik yang pertama maupun yang kedua. Di sinilah mulai muncul sebuah ekosistem diskusi sistematis yang menghasilkan keputusan secara berimbang dan menampung semua gagasan peserta yang mengikutinya.
Latar belakang tersebutlah yang menghadirkan gelombang besar perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan diskriminasi sosial. Ini bisa menjadi gambaran salah satu arus demokrasi yang terbesar di Indonesia atau yang dahulu dikenal Hindia Belanda. Bukan hal yang mudah menyatukan cita-cita dari banyaknya golongan dan kepentingan. Apalagi wilayah-wilayah di Indonesia kebanyakan bermula dari kerajaan maupun masyarakat adat, yang tentunya masih memiliki akar perhambaan, penaklukan, dan penguasaan mutlak terhadap sumber daya. Namun, tidak boleh menutup mata bahwasanya masih ada komunal-komunal kecil yang memberikan kedudukan yang sama dalam mengambil keputusan. Salah satu komunal yang terkenal melakukan hal tersebut ialah suku pedalaman Dayak di Kalimantan atau masyarakat adat Samin di Jawa Tengah.
Muncul di benak banyak orang mengenai pertanyaan, “bagaimanakah konsep dasar demokrasi di Indonesia?” Banyak intelektual di Indonesia akan menjawab dengan tegas bahwa rumusan dasar founding fathers di masa kemerdekaan, seperti Pancasila (dasar negara) dan Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi), ialah pondasi terkuat kerangka demokrasi di Indonesia. Pada satu sisi benar pandangan tersebut karena itulah yang dicatat jelas pada buku-buku sejarah. Yang sering terlewat ialah menegaskan kembali bahwa sebelum Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan yang merdeka, sudah berdiri tatanan adat demokratis, organisasi kerakyatan, media jurnalisme, sampai pemberontakan melawan sistem kolonialisasi. Ini semua adalah upaya pembangunan ekosistem demokrasi yang paling nyata dimiliki oleh bangsa ini.
Demokrasi yang berkembang seantero zaman dan dunia itu juga dimulai dari perlawanan segala bentuk kesewenang-wenangan suatu kelompok yang lebih kuat kepada kelompok yang lebih lemah/kalah. Saat menghadapi transisi zaman perbudakan menuju era feodalisme, Yunani Kuno sebagai peradaban yang mutakhir berbicara sosial-politik telah mengajarkan dunia bahwa sejarah yang penuh dengan darah dan air mata bisa ditebus di masa depan yang selalu belajar untuk memperbaiki diri. Bima Satria Putra, salah seorang penulis populis tema anti otoritarian, pernah menjelaskan hal ini dalam esainya yang berjudul “Anda Tidak Benci Politik, Anda Benci Negara”. Bima menjelaskan Yunani Kuno membangun tradisi pengambilan keputusan untuk kepentingan komunalnya kepada setiap lelaki yang sudah dianggap dewasa. Tidak peduli latar belakang pekerjaanmu, tidak menyoroti seberapa besar pengikutmu, ataupun gimana kuat peranmu dalam masyarakat, setiap individu tersebut bisa menciptakan perubahan. Tradisi ini menjadi tidak sempurna ketika diketahui suara tidak diperkenankan bagi perempuan, pendatang, ataupun budak.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa bedanya dengan sistem ‘pemilihan umum’ di Indonesia? Tentu sangat jauh berbeda. Pemilihan umum dikenal dengan slogannya one man, one vote, one value, yang artinya setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat diberikan hak untuk bersuara. Bentuk suaranya ini hanya sebatas pemilihan pemimpin kebijakan ataupun wakil wilayah untuk mengisi jabatan pemerintahan. Sisanya, setiap keputusan/kebijakan maupun peraturan yang mengikat kebutuhan masyarakat, sepenuhnya dikuasai jabatan pemerintahan tersebut. Inilah yang dikenal dengan demokrasi tidak langsung. Yunani Kuno memberikan gambaran demokrasi langsung yang mana tidak memberikan perwakilan suara kepada siapapun atau apapun, setiap individu tersebut bisa mengusulkan gagasan ataupun menolak suatu putusan komunal sebagai suara politik. Syaratnya cuma satu, anda yang bersuara harus memberikan gagasan atau penolakan yang jelas dengan dasar argumentasi sehingga bisa dipertanggungjawabkan landasannya.
Hal semacam ini dibangun untuk menghancurkan kepentingan sekelompok orang yang memiliki sumber daya atau pengaruh besar di masyarakat yang berpotensi akan membuat kesewenang-wenangan. Ketika segelintir orang tersebut berhasil mencengkeram politik kekuasaan menjadi kepemilikan mereka sendiri itu akan dikenal sebagai oligarki kekuasaan. Pertanyaan dasar lain pun muncul, “bagaimana cara kerja demokrasi tidak langsung sehingga mengakibatkan kesewenang-wenangan?” Sistem pemilihan jabatan kekuasaan Indonesia sudah dibangun secara proporsional untuk menampung setiap kalangan atau kepentingan yang ingin memberikan kontribusinya di pemerintahan. Akan tetapi, semua hal yang proporsional itu adalah produk politik yang bisa juga dihancurkan dengan gagasan politik lain yang mampu menegasikan nilai-nilai baiknya.
Hal itu tercermin dari berdirinya partai politik Indonesia dengan persyaratan yang memberatkan rakyat kecil. Suatu golongan yang tidak memiliki sumber daya yang mapan tidak akan mampu membiayai pembangunan kepengurusan di setiap provinsi di Indonesia dengan minimal 75% dari jumlah kabupaten/kota dan 50% jumlah kecamatan hingga memiliki kantor tetap sampai tingkat kota. Persyaratan ini membutuhkan biaya yang besar sekaligus waktu yang panjang untuk mengonsolidasikan setiap daerah. Belum lagi dengan ongkos politik pencalonan yang sangat tidak masuk akal ketika dicalonkan/disokong partai politik, dari biaya akomodasi relawan, pembuatan materi kampanye di setiap sudut jalanan, sampai biaya tiket dukungan dari golongan lain yang memiliki basis massa besar. Sudah menjadi rahasia umum kalau sejumlah triliunan rupiah untuk minimal pencalonan presiden atau ratusan miliar rupiah untuk minimal pencalonan gubernur harus dikeluarkan kontestan pemilu. Angka fantastis ini tentu mengakibatkan beban individu yang memenangkan kontestasi demokrasi tidak langsung untuk bisa meraup kembali sejumlah sumber daya untuk menutup ongkos politik tersebut.
Hal-hal yang semacam inilah membuat praktik-praktik korupsi dan aksi ‘titip menitip’ proyek eksploitasi sumber daya/pembangunan maupun ‘bagi-bagi’ jabatan menjadi tidak asing dilakukan. Para pihak yang memberikan support politik dan ekonomi kepada pejabat pemenang kontestasi inilah yang akan membangun politik oligarki di pemerintahan. Semua kebijakan atau perangkat hukum yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan rakyat berbalik menjadi alat kepentingan oligarki untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi inilah yang sedang mengunci penderitaan rakyat Indonesia ketika negara sudah tidak memiliki keberpihakannya lagi kepada pemangku kedaulatan yang sebenarnya, yaitu rakyat Indonesia.
Lalu muncul lah pertanyaan terakhir untuk menjawab kegelisahan ini, “apakah oligarki bisa dilenyapkan?” Penulis akan menjawab dengan jujur, “tentu saja bisa jika kita membersihkan semuanya dari akar.” Mayoritas sistem aturan saat ini menjadi support system tidak resmi oligarki untuk menjajah tanah airnya sendiri. Gagasan kritis dengan mulai membangun partai politik alternatif ataupun blok politik alternatif yang tidak hanya memiliki eksistensi rupa teori, namun menjadi ideal menggantikan partai dan sistem politik yang sekarang sudah usang. Ada lagi gagasan dengan pembangunan dewan yang benar-benar dari rakyat, artinya bukan representatif seperti cara kerja legislatif, namun menjadi perwakilan dari setiap wilayah atau sektoral seperti (paguyuban tani atau serikat pabrik) yang hasil keputusan bersama yang menjadi langkah politik strategis. Ini bisa menjadi wacana yang dikeluarkan untuk memberikan otonomi-otonomi bagi kelompok atau daerah yang ingin melakukan pembangunan progresif demi mengakhiri akar kepemilikan kuasa dari segelintir orang atau kelompok.
Seorang pemikir demokratis muda golongan pelajar, Ahmad Rizal, meringkas sebuah gagasan demokrasi kerakyatan yang berjudul “Demokrasi Kerakyatan” yang menggali faktor yang harus dievaluasi dari persatuan demokrasi masyarakat. Katanya, masyarakat masih berpikir dan bertindak secara individual. Hal ini dilandasi dua faktor, yaitu kerja-kerja mereka yang dilakukan secara individual dan ketegangan tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Namun, kekolektifan masyarakat sebenarnya masih hidup dan berkembang, misalnya melalui paguyuban tani ataupun serikat pekerja yang dibangun secara modern atau lebih dari konsep gotong royong. Mereka berada dalam unit-unit kecil dengan teamwork untuk bertumbuh mengejar produktivitas. Kekuatan kolektif tidak pernah usang, dari masa Yunani Kuno sampai Pra Kemerdekaan, hal-hal ini sudah membuktikan kemajuan kebersamaan manusia dalam menghancurkan kesewenang-wenangan.
Melihat kembali sejarah yang dibangun oleh pemuda progresif masa pra kemerdekaan dengan organisasi kerakyatan, media independen otonom, maupun pertemuan-pertemuan demokratis lain yang membangun cita-cita persatuan demi menghancurkan ‘nafsu jahat’ para penguasa di istana nyaman mereka. Tidak ada kata terlambat, tidak ada bicara ketidakmungkinan demokrasi sejati akan menghancurkan kekuasaan tirani. Slogan remeh temeh “Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?” akan bertransformasi menjadi “Perubahan sosial itu harus dipersiapkan, bukan dengan menitipkan!”
2 Komentar
Wahhh akhirnya. Terima kasihh
BalasHapusTerimakasih kembali, kami tunggu karya berikutnya
Hapus