Miskin, Kuliah, dan Gelar Pengangguran: Sebuah Refleksi atas Hidup di Desa

Tito Suroso
 

Sebelumnya, saya ingin mengetahui apa yang kawa-kawan pikirkan ketika ketika melihat pengangguran. Jangan melihat dan jangan apa yang dipikirkan dulu, yang terlintas sajalah ketika melihat kata pengangguran. 

Pertama pasti tidak ingin menjadi pengangguran karena dianggap tidak berhasil menjadi "orang". Yahh mau gimana lagi, dengan perkembangan zaman yang katanya maju dengan berbagai macam kehidupan yang kapitalistik ini, pastinya kawan-kawan ingin menjadi seorang, yang sukses. 

Saya orang yang tidak suka hipokrit atau apapun itu dan tidak dipungkiri semuanya ingin menjadi orang sukses. Berkarir dan/atau kerja di korporat ternama, memiliki uang banyak, rumah mewah, mobil mengkilap, populer, serta semua liburan dapat tragendakan dan hingga menganggap orang desa sebagai ketertinggalan dan keterbelakangan, suka desa, tapi sebagai turis.

Ya saya menganggap demikian, karena saya tinggal di sebuah desa yang berada di salah satu kota besar nan istimewa dengan sistem feodalnya. Namun, saya tidak ingin meromantisasi desa dengan berbagai kulturnya, baik kentalnya hipokrit pasrawungan, gotong royong atau apapun itu. Tapi, percayalah menjadi pengangguran di desa akan sangat rentan dicap no life (baca: nolep) karena masih melekatnya teori labeling. Lantaran tidak dipungkiri mereka menilai bahwa pengangguran tidak memiliki aktivitas atau kegiatan apapun yang menghasilkan, berupa uang misalnya. 

Tapi untuk diketahui, sebelum itu, hari ini adalah genap setengah tahun ketika dosen penguji beserta pembimbing saya dengan berat hati mengatakan saya “lulus” sebagai diplomal di salah satu universitas yang katanya universitas fav. dan telah layak menjadi produk untuk dianal para perusahan kapital jika tak miliki modal. 

Belum lagi ketika terlahirkan dengan latar belakang yang berkekurangan. Bukan mengajak bersyukur dengan membandingkan apa yang ada. Akan tetapi, saya mencoba untuk melihat sekaligus membayangkan bagaimana rasanya seorang yang menempuh pendidikan di luar kota, yakni di kota yang kali-nya sering banjir, padahal kota sendiri katanya disebut kota pelajar dengan banyak tawuran dan klitih-nya. Kemudian, apakah keluarga saya (dan saya) masih bisa “nrimo ing pandum” seperti kota sendiri, dengan kuliah yang kebanyakan mahasiswa di universitas yang identik patung kuda itu, hanya bisa makan ketika di restoran, sedangkan saya sendiri hanya mampu di angkringan? 

Kembali lagi, apakah saya tidak memiliki aktivitas yang menghasilkan? Bukan tidak berusaha, saya sudah berusaha kesana-kemari melamar dengan menuangkan apa yang ada di tubuhku, tenagaku pikiranku bahkan keotentikan ke dalam aksara lalu dikirim ke berbagai perusahaan, baik di kota istimewa dengan UMR-nya yang rendah, maupun di Sunda Kelapa serta kota metropolitan di sekitarnya. Namun, setelah bersusah payah melamar ke berbagai perusahaan, tidak satupun saya diterima. Atau jangan-jangan saya seharusnya melamarmu saja?

Tidak lagi panas, telinga saya sudah kebal, ketika tetangga saya bahkan kawan saya sendiri menagih dengan nada yang menuntut seperti, hasilnya mana? Sudah dikuliahkan jauh-jauh, padahal disini juga banyak! Sudah miskin, nganggur lagi.

Memang hingga kini, saya masih menjabat sebagai pengangguran. Dan bukannya menyalahkan sistem pendidikan Pak Kemendikbud Nadiem Makarim, yang mengkampanyekan “proyek” Magang-Merdeka Belajar, namun sebenarnya merdeka yang mana? Merdeka dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditas pak Mendikbud? etiss. Dan atau Pakde Jokowi yang selalu mengkoarkan cuan, cuan, dan cuan, maaf kerja, kerja, dan kerja.

Tapi dari pendidikan yang saya tempuh di tembalsky menggunakan motor revo tapi kamu milih yang pajero itu, saya mendapat pemikiran baru. Dan tentunya orang di lingkungan saya lebih menomorsatukan bukti, baru mereka percaya ketika saya berhasil memberikan feedback atas pendidikan saya. Memang, tidak dipungkiri kebenaran massifikasi bahwa pada akhirnya semua akan bekerja (dan berkarya?). Bahkan pendeta meyakini itu dengan memberikan khotbah mengenai ora et labora di gereja jawa saya waktu lalu.

Adanya hal tersebut membuat saya harus bisa belajar. Belajar membaca gejala dari jelaga. Belajar membaca realita yang ada. Belajar membaca chat-mu, tapi tidak bisa karena kamu tak kunjung membalas pesanku. 

Belajar apapun atas setiap entitas-entitas makna kehidupan. Belajar menerima dengan segala apa yang ada. Belajar menerima kamu yang kamu tidak bisa menerima saya. 

Kendati demikian, biar tidak dikira no life - no life amat, saya sebenarnya selain memikirkanmu juga memiliki kegiatan produktif lainnya, yakni menulis berita. Sembari menulis cerita keseharian lalu mengirimnya lewat chat ke kamu, saya juga menulis berita di salah satu platform berita milik kawan Indonesia Timur. Tapi tetap, yang paling menarik adalah berita darimu.  

Saya belum siap menyampaikan balasan ke orang-orang di sekitar saya tadi. Karena mereka mengamini pemikiran barunya bahwa segalanya butuh uang dan uang adalah segalanya. Kemudian mereka menganggap ekspektasi dan output dari lulusan universitas saya itu adalah minimal kerja di kantor perusahaan sekelas MNC yang jobdesk utamanya analisis matriks berupa angka, angka dan angka. Sedangkan saya?

Ya setidaknya dari berita, saya dapat kembali mengasah ketajaman berpikir serta melatih kemampuan mengetik dengan sebelas jari, dua jari tengah, kiri dan kanan, F*ck u, asshole!!!


Posting Komentar

1 Komentar