Apakah Moralitas Akan Tetap Ada Jika Tuhan Tidak Ada?

Big Smoke 
 


Pandangan dari Kai Nielsen 

Memang ada kesulitan mendasar dan bahkan mungkin elemen ketidaksesuaian dalam etika agama, tetapi apa yang dapat ditawarkan oleh seorang moralis sekuler sebagai penggantinya? Moralitas agama mungkin mengalami kesulitan, tetapi moralitas sekuler, kata para pembela agama, masih memiliki kesulitan yang lebih besar. Ini membawa mereka mengklaim, ke skeptisisme etis, nihilisme, atau, konvensionalisme murni. Para pembela seperti itu dapat menunjukkan bahwa jika kita melihat moralitas dengan mata dingin seorang antropolog, kita akan menemukan moralitas tidak lebih dari adat istiadat yang sering bertentangan dari berbagai suku yang tersebar di seluruh dunia. 

Para teolog berada dalam posisi untuk menekankan poin permintaan maaf yang kuat. Saat kita menjadi mereka sangat sadar, kata mereka, tentang sifat sebenarnya dari hal itu konvensionalisme dan ketika kita menyadari bahwa tidak ada tujuan utama yang ditakdirkan untuk dipenuhi oleh manusia, itu berbagai tujuan, maksud dan tujuan yang diciptakan manusia sendiri, akan terlihat tidak cukup. Saat kita sadar bahwa hidup tidak memiliki makna yang ada untuk ditemukan, tetapi kita sebagai manusia harus melakukannya keputusan sengaja kami memberikan apa pun arti yang dimilikinya, kami akan mengalami kerenggangan dan putus asa. Kami akan mengeringkan cangkir kami hingga tetes pahit terakhirnya dan merasakannya keterasingan sepenuhnya. Mungkin ada tujuan manusia, tujuan yang akan ditemukan dalam hidup, dan kita dapat dan memang memilikinya di dunia tanpa Tuhan, tetapi tanpa Tuhan tidak ada seorang pun tujuan menyeluruh, tidak ada satu skema dasar keberadaan manusia, dalam kebajikan yang kita bisa menemukan arti untuk kotor kita nyawa. Rasa makna keseluruhan inilah yang manusia begitu tekunkan berjuang untuk, tetapi tidak dapat ditemukan dalam dunia yang murni sekuler pandangan dunia.

Pertimbangan yang mendukung dan menentang etika yang tidak berakar pada agama sangatlah kompleks dan rumit, diskusi yang bermanfaat tentang hal tersebut merupakan hal yang sulit, karena dalam mempertimbangkan masalah hasrat kita, kecemasan kita, perhatian utama kita, dan mereka cenderung mengaburkan visi kita, melemahkan pemahaman kita, tentang apa sebenarnya yang dipertaruhkan. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa apa yang dipertaruhkan di sini adalah jenis komitmen atau kewajiban utama apa yang dapat dimiliki seseorang tanpa menghindari masalah apa pun, tanpa penipuan diri atau tanpa khayalan. Saya akan prihatin untuk menampilkan dan menilai, untuk menjelaskan tetapi juga untuk menimbang, beberapa pertimbangan paling penting untuk dan melawan etika sekuler murni.

Para moralis religius mungkin mengakui bahwa kebahagiaan manusia memang jelas merupakan hal yang baik sementara berpendapat bahwa moralitas sekuler, yang konsisten dan reflektif, niscaya akan mengarah pada beberapa variasi egoisme. Seseorang yang menyadari nilai kebahagiaan dan kesadaran diri mungkin, jika dia bebas dari batasan agama, bertanya pada dirinya sendiri mengapa dia harus peduli dengan kebahagiaan dan kesadaran diri orang lain, kecuali jika kebahagiaan dan kesadaran diri mereka akan berkontribusi pada kebahagiaan dan kesadaran diri orang lain. kebaikannya sendiri. Kita harus menghadapi kenyataan bahwa terkadang, seiring berjalannya waktu, kepentingan orang berbenturan. Kadang-kadang kebaikan bersama hanya dapat dicapai dengan mengorbankan kepentingan beberapa individu. Oleh karena itu, seseorang harus, dalam keadaan seperti itu, mengorbankan apa yang akan membuatnya bahagia demi kebaikan bersama. Moralitas menuntut pengorbanan kita ini, jika itu diperlukan untuk kebaikan bersama; moralitas, moralitas apa pun, ada sebagian setidaknya untuk memutuskan antara konflik kepentingan dan tuntutan orang.

Jelas sekali bahwa setiap orang tidak bisa bahagia sepanjang waktu dan terkadang kebahagiaan satu orang atau kebahagiaan suatu kelompok mengorbankan kebahagiaan orang lain. Moralitas menuntut kita untuk berusaha mendistribusikan kebahagiaan secara merata. Kita harus adil, setiap orang menghitung untuk satu dan tidak ada yang menghitung lebih dari satu. Apakah kita menyukai seseorang atau tidak, apakah dia berguna bagi masyarakatnya atau tidak, kepentingannya, dan apa yang akan membuatnya bahagia, juga harus dipertimbangkan dalam keputusan akhir apa yang harus dilakukan. Persyaratan keadilan mengharuskan setiap orang diberi pertimbangan yang sama. Saya tidak dapat membenarkan pengabaian saya terhadap orang lain dalam beberapa masalah moralitas hanya dengan alasan bahwa saya tidak menyukainya, bahwa dia bukan anggota kelompok saya, atau bahwa dia bukan anggota masyarakat yang produktif. Para pembela religius akan berargumen bahwa di balik persyaratan keadilan sebagai keadilan ini tersembunyi prinsip religius kuno bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, masing – masing dengan nilai tak terbatas, dan dengan demikian manusia tidak pernah diperlakukan hanya sebagai sarana tetapi sebagai orang yang pantas dihormati. hak mereka sendiri. Mereka memiliki nilai yang tidak terbatas hanya sebagai pribadi.

Arus rasionalisasi demikian cepat melanda kehidupan manusia abad modern telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian rasional, kajian tentang pemikiran etika pun terangkat ke permukaan. Bahkan menjadi topik kajian menarik dalam konteks kekinian dan kemodernan, karena etika merupakan salah satu persoalan esensial dalam kajian keagamaan. Begitupun sebagian para ilmuan pada masa lalu berpandangan bahwa keberadaan agama secara perlahan akan ditelan oleh perkembangan zaman.

Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa perkembangan modernisasi dan sekularisasi menuntut sebuah peradaban yang mendasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan rasional, sedangkan perkembangan agama lebih mendasarkan pada keyakinan yang bersifat spekulatif dan tidak ilmiah. Tetapi dalam kenyataan hingga saat ini pandangan tersebut tidak terbukti, paling kurang hingga abad ke-21 ini. Tidak ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa agama akan ditinggalkan oleh para penganutnya. Hingga sekarang, sebagaimana yang kita saksikan, agama tetap berkembang di berbagai negara dan justru berperan penting dalam kehidupan sosial dan politik.

Etika dan agama merupakan dua hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini disebut juga sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya, etika orang Sunda. Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral yang biasa disebut kode etik. Kemudian etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik dan buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.

Etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu kumpulan mengenai pengetahuan, mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua, suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia yang lain. Secara spesifik, Ahmad Amin mengatakan etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian orang kepada lainnya, mengatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

Agama merupakan suatu realitas yang eksis di kalangan masyarakat, sejak dulu ketika manusia masih berada dalam fase primitif, agama sudah dikenal oleh mereka. Meskipun hanya dalam taraf yang sangat sederhana sesuai dengan tingkat kesederhanaan masyarakat waktu itu. Dari masyarakat yang paling sederhana sampai kepada tingkat masyarakat yang modern, agama tetap dikenal dan dianut dengan variasi yang berbeda. Dengan demikian agama tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, kapan dan dimanapun.

Agama berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tidak kacau, diambil dari suku kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Secara lengkapnya, agama adalah peraturan yang mengatur manusia agar tidak kacau. Menurut maknanya, kata agama dapat disamakan dengan kata religion (Inggris), religie (Belanda), atau berasal dari bahasa Latin religio yaitu dari akar kata religare yang berarti mengikat.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa agama adalah kebiasaan atau tingkah laku manusia yang didasarkan pada jalan peraturan atau hukum Tuhan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dengan demikian, relasi antara etika dengan agama sangat erat kaitannya yakni adanya saling isi mengisi dan tunjang menunjang antara satu dengan yang lainnya. Keduanya terdapat persamaan dasar, yakni sama-sama menyelidiki dan menentukan ukuran baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Etika mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan akal pikiran dan hati nurani. Sedangkan agama mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan wahyu (kitab suci) yang kebenarannya absolut (mutlak) dan dapat diuji dengan akal pikiran.

Jadi, menurut saya, etika dan agama merupakan kedua hal yang berjalan dengan berdampingan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam kehidupan manusia, karena pada nilai-nilai agama dan etika merupakan sebuah tuntunan bagi manusia sebagai pemisah antara baik dan buruk. Selain itu, etika pun berfungsi sebagai tatanan perilaku manusia dengan manusia, sedangkan agama merupakan sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan nya.

Hubungan antara etika dengan agama sangat erat kaitannya, yakni adanya saling isi mengisi dan tunjang-menunjang. Keduanya terdapat persamaan dasar, yakni sama-sama menyelidiki dan menentukan ukuran baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Etika mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan akal pikiran dan hati nurani sedangkan agama mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan wahyu (kitab suci) yang kebenarannya absolut (mutlak) dan dapat diuji dengan akal pikiran.

Fungsi etika dan agama dalam kehidupan sosial tetap berlaku dan dibutuhkan dalam suatu masyarakat, keduanya berfungsi menyelidiki dan menentukan ukuran baik dan buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Etika mengukur seseorang dengan argumen rasional sedangkan agama mengukur seseorang dengan berdasarkan wahyu Tuhan dan ajaran agama. Dalam agama ada etika dan sebaliknya agama merupakan salah satu norma dalam etika.



Daftar Pustaka

Nielsen, Kai. 1964. Ethics Without Religion. Ohio University Review
Katsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya


Posting Komentar

0 Komentar