Tokoh-tokoh dan Nilai pada Wayang

Big Smoke
 


A. Nilai Tokoh Pandawa

Pandawa adalah anak Pandu yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putra Dretarastra, saudara Pandu sendiri.

Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putra kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu. Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing Dewa.

1. Yudhistira

Yudhistira adalah putra Pandu yang pertama dari ibu Dewi Kunti. Ia adalah raja Amarta. Dialah yang memegang pusaka sakti Layang Jamus Kalimusda. Dari uraian di atas indikasi kepribadian Yudistira sebagai berikut. Yudistira memiliki garis titisan dari Dewa Yamaraja, yang memiliki sifat menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan, pemurah dan hati yang bersih. Serta dalam hidupnya hampir tak pernah berkata bohong. 

Sebagai seorang pemuka dalam Pandawa Lima, di atas mahkotanya terdapat secarik kertas putih yang menjadi jimat kesaktiannya. Jimat ini disebut sebagai Klimo Sodo atau Syahadatain, “Laailahaillallah Muhammadarrasulullah”. Hal ini menggambarkan seseorang yang telah berucap kalimat syahadat akan memiliki keyakinan mendalam sehingga dapat memunculkan kekuatan untuk mengalahkan kejahatan. 

Selain itu, tokoh Yudhistira dalam pewayangan juga diibaratkan sebagai ibu jari (jempol) yang mengibaratkan kakak tertua untuk menaungi dan memberi contoh kesopanan dalam kehidupan. Yudhistira digambarkan memiliki karakter yang menerima (sumuhun dawuh) dengan selalu mengatakan “silakan” atau “mangga”. Dalam budaya Sunda, perkataan ini selalu dibarengi dengan ibu jari yang menunjukkan arah untuk menggambarkan kesopanan atau suatu persutujuan.

2. Bima

Bima atau sering disebut Bratasena, merupakan putra kedua Pandu Dewanata dari Dewi Kunti Nalibrata, mempunyai perawakan yang tinggi besar, bersikap tegas dan memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, cenderung tempramental. Bima menganggap semua orang sama derajatnya, makanya dia gak pernah berkata kata halus dengan siapa saja termasuk tidak pernah duduk di hadapan mereka. Bima merupakan titisan dari Batara Bayu. Menikah dengan Arimbi. Bima adalah ayahanda Gatotkaca. Jika Bima berbohong maka ular tersebut akan menggigit lehernya, sehingga Bima dikenal dengan karakter yang tidak pernah berbohong.

Bima digambarkan memiliki sosok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan wajah yang garang tetapi selalu menunduk seperti orang shalat. Bila sedang melakukan sesuatu, Bima tidak bisa diganggu sampai ia selesai. Hal ini memberi pesan bahwa orang yang sedang shalat tidak bisa diganggu gugat. Ia juga mempunyai kekuatan yang disebut sebagai Aji Pancanaka yang berarti lima kekuatan. Lima kekuatan ini adalah shalat lima waktu, yakni Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.

Bima yang merupakan anak kedua melambangkan sebuah jari telunjuk yang bermakna sebagai raksasa, Bima dikenal sebagai orang yang lurus dan terus terang, walaupun keras dan apa adanya, bahkan dia hanya menggunakan Basa Loma (bahasa Sunda yang halus) hanya kepada gurunya, Dewa Ruci. Bima dikenal sebagai orang yang keras dan berusaha mengingatkan dengan galak. Masyarakat kita, jika memarahi orang atau mengingatkan orang, akan menggunakan jari telunjuk yang teracung, simbolisme Bima yang sedang mengingatkan kesalahan kepada orang lain.

3. Arjuna

Arjuna yang juga dikenal dengan nama Janaka adalah seorang yang suka bertapa. Ia berjiwa teguh serta berwajah tampan. Dalam pewayangan, dengan pertapaannya ini, Arjuna digambarkan sebagai sifat orang yang rajin menjalankan ibadah puasa, ia akan memiliki jiwa yang kuat dan tenang untuk menghadapi segala tantangan dan cobaan hidup. Arjuna adalah putra ketiga di Pandawa, dia gemar berkelana, bertapa dan berguru mencari ilmu. Gurunya yang paling terkenal yakni Resi Dorna dari Padepokan Sokalima.
Dalam pewayangan, Arjuna juga diibaratkan sebagai jari tengah. Ini diibaratkan Arjuna sebagai lelananging jagad (lelaki dunia) yang menjadi impian setiap wanita. Sebenarnya ia tidak begitu tampan dan rupawan, bahkan Arjuna sering keluar-masuk hutan, berjambang banyak (brewok) dan kasar perawakannya. Namun demikian, ia tetap menjadi impian wanita karena mampu untuk “menyenangkan” hati para wanita.

4. Nakula

Nakula merupakan anak Pandu Dewanata dari istrinya yang bernama Dewi Madrim, Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan tombak. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. 

Di sisi lain, Nakula juga diibaratkan sebagai jari manis. Sebagai kakak kembar dari saudaranya, Sadewa, sebenarnya Nakula memiliki perawakan yang lebih tampan ketimbang Arjuna karena Nakula adalah simbol dari ketampanan, keindahan, dan keharmonisan. Oleh karenanya, cincin pernikahan selalu diletakkan di jari manis sesuai sifat Nakula yang tampan, indah, dan harmonis.

5. Sadewa

Dia merupakan putra paling bungsu di Pandawa, meskipun Sadewa merupakan yang paling muda, namun ia dianggap sebagai yang terbijak di antara mereka. Sadewa merupakan ahli perbintangan yang ulung dan mampu mengetahui kejadian yang akan datang.  Ia dalam berpenampilan juga rapi dan bagus sehingga sedap dipandang mata. Sifat yang selalu memberi juga tampak dari dirinya persis seperti Nakula. Oleh karenanya, ibadah zakat dan haji dilekatkan pada dua tokoh kembar ini, yang artinya tidak terpisahkan oleh keadaan mereka yang mampu dalam hal kekayaan.

Sadewa yang notabene merupakan sebagai adik terkecil dan adik kembar dari Nakula, digambarkan sebagai wayang yang paling mampu membawa kestabilan dan kebersihan. Nakula bahkan di salah satu kisah, adalah satu satunya wayang yang mampu meruwat (membersihkan) Bethari Durga untuk kembali ke bentuk awal beliau (Dewi Uma). Jika dikembalikan ke fungsinya, hanya kelingking yang mampu membersihkan kotoran di tempat yang tersembunyi seperti hidung dan telinga.

Nilai Tokoh Korawa

Istilah Kurawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian, arti yang pertama yaitu Kurawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Kurawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal. Arti yang kedua adalah Kurawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab ia merupakan keturunan yang tertua dalam garis keturunan Kuru. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para Pandawa.

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari istri Dretarastra, menginginkan seratus putra. Kemudian Gandari memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah lama ia mengandung, putranya belum juga lahir. Ia menjadi cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga orang putra. Gandari menjadi frustrasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci, muncul lah bayi laki-laki. Bayi yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain (Tanojo:1960).

1. Duryodana

Duryodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata. Dalam  kisah, ia merupakan putra sulung Dretarastra dan Gandari, pasangan keluarga bangsawan Kerajaan Kuru, suatu kerajaan kuno di India Utara yang beribu kota di Hastinapura. Duryodana merupakan yang pertama diantara serratus Korawa, yaitu anak-anak Dretarastra.

Menurut kepercayaan Hindu, Duryodana merupakan penjelmaan dari Iblis Kali. Ia diceritakan bersikap layaknya seorang kesatria, tetapi mudah terpengaruh hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yang licik dan suka memprovokasi pihak Korawa dengan pihak Pandawa (anak-anak Pandu), sepupu para Korawa. Selain itu, Duryodana terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona, dan Baladewa, Duryodana menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, seorang Pandawa yang hebat dalam kekuatan fisik. Perseteruannya dengan para Pandawa berujung kepada perang besar di Kurukshetra, yang juga dikenal sebagai Bharatayuddha. Dalam perang, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.

Duryodana memiliki indikasi kepribadian Duryodana yang berwarna merah yang melambangkan kecemasan, amarah, kecurangan, kebencian, depresi, kurangnya kontrol diri, serta kerapuhan. Hal itu terlihat ketika setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana sibuk memikirkan cara merebut harta Yudistira. Sangkuni, paman Duryodana dari Gandhara menawarkan ide untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, demikian pula Dretarastra yang terbujuk oleh Sangkuni. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, tetapi pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kesaktiannya dalam mengatur angka dadu. Setelah Yudistira kehilangan harta dan kerajaannya dalam perjudian, ia pun mempertaruhkan kebebasan adik-adiknya, termasuk istrinya. Namun tak satu pun yang dimenangkan oleh Yudistira, sehingga Pandawa dan Dropadi pun menjadi budak Duryodana. Para Pandawa pun diminta untuk melepaskan pakaian dan perhiasan mereka.

2. Dursasana

Dursasana atau Duhsasana adalah tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan adik dari Duryodana, pemimpin para Korawa, putra Raja Drestarasta dengan Dewi Gandari. Ia dikenal sebagai Korawa yang nomor dua di antara seratus Korawa. Dalam pewayangan Jawa, Dursasana memiliki seorang istri bernama Dewi Saltani, dan seorang putra yang kesaktiannya melebihi dirinya, bernama Dursala. 

Ia digambarkan sebagai wayang dengan tubuh yang gagah, bermulut lebar, dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang – wenang, gemar menggoda wanita, dan senang menghina orang lain. Hal tersebut terlihat ketika dalam Sabhaparwa diceritakan bahwa kecemburuan para Korawa terhadap Pandawa semakin memuncak ketika kelima sepupu mereka itu berhasil membangun sebuah istana yang sangat indah bernama Indraprastha. Berkat bantuan licik Sangkuni, para Korawa berhasil merebut Indraprastha melalui sebuah permainan dadu.

Saat Yudistira dan keempat adiknya kehilangan kemerdekaan, ia masih tetap dipaksa oleh Duryodana untuk mempertaruhkan Dropadi. Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang dinikahi para Pandawa secara bersama-sama. Setelah Dropadi jatuh ke tangan Korawa, Duryodana pun menyuruh Dursasana untuk menyeret wanita itu dari kamarnya.

Dengan cara kasar, Dursasana menjambak Dropadi dan menyeretnya dari kamar menuju tempat perjudian. Duryodana kemudian memerintahkan agar Dursasana menelanjangi Dropadi di depan umum. Tidak seorang pun yang kuasa menolong Dropadi. Dalam keadaan tertekan, Dropadi berdoa memohon bantuan Tuhan. Sri Kresna pun mengirimkan bantuan gaib sehingga pakaian yang dikenakan Dropadi seolah-olah tidak ada habisnya, meskipun terus-menerus ditarik Dursasana. Akhirnya Dursasana sendiri yang jatuh kelelahan.

Setelah peristiwa itu, Dropadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Dursasana, begitu juga Bimasena (Pandawa nomor dua) bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya.

A. Nilai Tokoh Batara

Bhatara adalahutusan Brahman (Tuhan) sebagai pelindung umat manusia dalam tradisi Hindu. Bhatara tidak sepenuhnya berarti Dewa karena ada definisi yang berbeda antara Bhatara dengan Dewa. Namun dalam perkembangannya, istilah Bhatara diidentikkan dengan Dewa. Bhatara berjenis kelamin wanita disebut Bhatari.

1. Batara Kresna

Batara Kresna adalah raja kerajaan Dwarawati dan merupakan titisan Dewa Wisnu, ditugaskan untuk menyelesaikan segala macam permasalahan yang terjadi di muka bumi. Mempunyai senjata Gambar Lopian yang bisa melihat keadaan di seluruh belahan penjuru dunia.

Kresna dapat dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud arca, Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya pewayangan Sunda, Kresna digambarkan berkulit hitam. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan modern, Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna hitam merupakan warna Dewa Wisnu menurut konsep Nawa Dewata, sedangkan biru melambangkan keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi sulit, serta kesadaran yang sempurna. Warna biru juga melambangkan langit dan laut, masing-masing bermakna luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan, sama halnya seperti Wisnu.

2. Batara Guru

Bathara Guru adalah Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Namanya berasal dari bahasa Sanskrit Bhattara yang berarti "tuan terhormat" dan Guru, epitet dari Wrehaspati (Bá¹›haspati), seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter.

Menurut mitologi Jawa, Batara Guru merupakan Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan Dewi Umaranti. Bathara Guru mempunyai beberapa anak. Wahana (hewan kendaraan). Batara Guru adalah sang lembu Nandini. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.

Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacat berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi.

Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacat belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemah lah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya.

3. Hanoman

Anoman Perbancana Suta, atau Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari Dewi Anjani. Ia pernah menjabat sebagai senepati kerajaan Mahespati, mengabdi kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana. Ia juga memiliki umur yang sangat panjang karena mempunyai tugas menyimpan sukma Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India.

4. Batara Rama

Batara Rama atau Sri Rama atau Ramawijaya adalah raja dari kerajaan Ayodya. Putra prabu Dasarata. Beristerikan Dewi Shinta, setelah memenangkan sayembara menarik Busur Kerajaan Mantili. Semasa muda bernama Raden Regawa, mendapat nama Rama setelah berhasil mengalahkan Rama Bergawa.
 

Daftar Pustaka

Solichin. 2011. Falsafah Wayang, Intagible Heritage of Humanity. Jakarta: Yayasan Senawangi.

Soetarno. 2005. Pertunjukan Wayang & Makna Simbolisme. Surakarta: STSI Press

Hamzah, Amir. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Sinar Harapan.

Posting Komentar

0 Komentar