Refleksi IKN Nusantara; ‘Pembangunan’ Kemajuan atau Uang sebagai Pusat Hidup?

Tito Suroso



Menarik. Meskipun sudah secara baku diresmikan dengan tertuang di dalam Undang-Undang (UU) sejak 18 Januari 2022 lalu, yang sebelumnya masih Rancangan Undang-Undang (RUU), namun kembali menarik untuk melihat ada banyak pihak yang menolak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Kalimantan Timur itu. Sekalipun para perancang dan atau penyusun, baik teknokrat, elite, dan semua yang tergabung untuk memberikan sumbangsih pembangunan itu telah mengkalkulasikan menghitung-hitungkan secara rasional matematis, tetapi masih ada spektrum problematika-problematika dari berbagai pihak yang dengan frontal menolak adanya pembangunan tersebut. Berbagai pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap pembangunan tersebut seolah mengidap messiah complex yang memandang pihak lain sebagai pihak yang ‘lemah’ dan perlu diselamatkan, memiliki argumentatif dengan meyakini dirinya mengikrarkan bahwa pembangunan adalah bentuk peradaban modernisasi negara Indonesia, begitupun yang berseberangan dengan itu juga.

Sekadar informasi, pembangunan IKN turut menjadi alasan untuk dilakukannya judicial review ke MK dalam upaya penundaan pemilu 2024 lantaran presiden sekarang tidak ada GBHN. Sehingga ketika terjadinya pemilu serentak 2024 dan juga berganti presiden, dinilai proyek pembangunan IKN tersebut berjalan tidak maksimal seperti di periode sebelumnya, meskipun (dengan gencarnya) merencanakan selesai pada 2024.

Namun terlepas dari pemilu, sebenarnya presiden untuk menentukan pembangunan suatu kota tidak ada konsensus tunggal baik konsepsi, persepsi, strukturisasi, konstruksi, dan fungsi. Pasalnya setiap individu maupun kelompok, pemahaman mengenai konsepsi kota berbeda-beda dengan yang lainnya berdasarkan pemahaman etimologis empiris-nya, bahkan tiap entitas makhluk pun terdiferensiasi secara ideologis. Kendati demikian, pembangunan kota “kadung” termaknai menjadi penampungan imajinatif-imajinatif monumental yang bercorak semiotikal realitas semu untuk mengejawantahkan suatu peradaban baru.

Mungkin saja adanya pembangunan IKN di Kalimantan Timur itu bermula ketika, baik pemimpin negara, elite, gubernur dan para petinggi tidak ada kemampuan atau mungkin tidak ada keinginan untuk mengatasi pelbagai problematika di ibu kota saat ini, Jakarta. Problematika yang terjadi secara konkrit adalah seperti ekonomi yang tersentralisasi, kepadatan penduduk, banjir, hingga sempat ada yang memprediksikan kota tersebut akan tenggelam. Tak hanya itu, juga ada kemungkinan bahwa ketika melakukan pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu opportunity cost-nya lebih besar dan signifikansi lebih tinggi daripada merampungkan problematika di Jakarta.

Kemudian bagaimana presiden pembangunan itu dibangun di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang katanya mengusung tema forest city, namun menutup mata pada environmental ethics, pasti akan menimbulkan permasalahan baru juga. Seperti adanya kecenderungan gradasi yang tebal dari masyarakat setempat dan para pendatang, misalnya segregasi. Tidak hanya segregasi geografis, terlebih juga segregasi ekonomi, budaya, politik, dan bahkan secara konteks masyarakat mengenai nilai-nilai atau norma yang telah menjadi suatu budaya turun-menurun akan terpaksa menerima budaya yang dianggap modern, rasional dan saintifik. Sehingga tidak dipungkiri bahwa akan mempengaruhi kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat karena telah terprivatisasi. Karena, pasti adanya gentrifikasi sosial yang diselimuti aksioma “kemajuan” modernitas IKN.

Mungkin sama juga seperti dalam tulisan Project Multatuli berjudul IKN Bukan Bungker Oligarki, yang memproyeksikan pembangunan IKN mirip dengan pembangunan ibu kota baru di Negara Brazil. Skema dan metodologi pemindahan Ibu Kota Brazil, dari Rio De Janeiro ke Brasília hampir mirip dengan pemindahan IKN di Indonesia. Pemindahan Ibu Kota Brasilia itu dirancang oleh arsitek Oscar Niemeyer. Oscar Niemeyer membuat rancangan untuk akomodasi yang nyaman dan fasilitas modern dengan tujuan dapat mencapai desentralisasi politik, ekonomi dan sosial-demografis. Namun hasil dari itu justru semakin tebalnya kesenjangan kelas. Pelanggengan kelompok si kaya menempati pusat kota, sedangkan si miskin ter-subordinatkan dengan tersingkir dari Ibu Kota Brasilia dan menempati lokus-lokus kumuh.

Artinya bahwa, ada kemungkinan terjadinya gentrifikasi sosial di IKN Nusantara, yang proses transformasi kelas sosial akan menempati ruang spasial tertentu untuk tujuan akumulasi komersial. Padahal masyarakat setempat telah menghuni wilayah tersebut. Sehingga kelompok kapital terindikasi berupaya mentransformasi ruang, memprivatisasi dan berinvestasi. Bisa dilihat oleh para investor swasta yang telah berkontribusi menyumbang sebanyak Rp 95 triliun untuk pembangunan IKN itu. Memang dengan dalih menyumbang, tetapi sangat rentan terjebak dalam reciprocal altruism. Oleh karenanya, tidak memungkiri pasti ada resiprokalitas antara pemerintah dan para investor itu di ke depannya.

Fenomena problematika gentrifikasi itu sederhananya adalah meningkatnya demand rumah modern, fasilitas publik, dan sebagainya bagi pekerja kelas kerah putih, dan tentu menuntut agen properti mengkonversikan lahan kerah biru. Itu dianggap suatu determinasi permasalahan dari produksi kapitalisme secara struktural-holistik. Bagi para pemilik modal, perusahaan properti dan sebagainya, hal tersebut merupakan sarana yang krusial dalam rangka berinvestasi dan mengkonversikan menjadi nilai tukar. Gampangnya, kapitalisasi lahan yang semula lahan “dinilai” kumuh, untuk bisa memaksimalkan, lahan tersebut tentu mereka harus “mengkonversikan” menjadi proyek infrastruktur, berupa hotel, apartemen, mall dan sebagainya.

Bahkan dari negara yang merupakan otoritas tertinggi juga turut mendukung itu, sehingga mencerminkan proyek neoliberalism dengan dalih kebijakan trickle down economy. Menekankan nilai persaingan pasar bebas dengan mengutamakan kepentingan akumulasi pasar dan ekspansi properti daripada dengan kebutuhan reproduksi kelas pekerja akan hunian yang layak. Sehingga kemungkinan akan terjadi kapitalisasi lahan berupa property boom di Kalimantan Timur. Sebagaimana property boom yang terjadi di Jabotabek, misalnya perumahan Bumi Serpong Damai, Lippo Cikarang, Pantai Indah Kapuk; Kemayoran New City; dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan kontekstualisasi IKN Nusantara yang akan dibangun di Kalimantan Timur itu. Apakah adanya gentrifikasi sosial dengan para pemilik modal yang rentan melakukan kewenangan-sewenangannya terhadap indigenous people dan marginal untuk terpaksa mencari hunian yang layak, itu bisa dikonotasikan sebagai peradaban baru? Atau itu upaya membentuk kemajuan demi pertumbuhan akumulasi modal?

Subjektivitas itu membawa pada sebuah liniearisasi, bahwasanya kekuasaan keputusan ada dalam lembaga eksekutif, yakni presiden, yang di mana presiden saat ini berada di “dekat” orang-orang yang didimonasi oleh para pedagang, maaf pebisnis. Seperti di legislatif, DPR dan mungkin juga DPD atau bahkan perwakilan anak muda lulusan universitas prestisius dan sekaligus pendiri start up juga ikut nimbrung dalam dunia perpolitikan Indonesia, pemerintah menyebutnya stafsus milenial. Artinya, simplifikasi hasil dari itu adalah indoktrinasi pada seluruh masyarakat, terkhusus melalui IKN Nusantara bahwasanya bukan lagi human center, melainkan menjadikan “uang” sebagai pusat dari sebuah peradaban hidup baru, epos antroposen. “Kehidupan dimuali ketika ada uang, dan akan mati jika tak ada uang”

 

Posting Komentar

0 Komentar