⤵
Reality...what a concept
-Ian Hacking
Sesekali kita menyaksikan keasikan para ilmuwan menjelaskan ihwal dunia teramati atau sekalian tak-teramati yang tersulam, terejawantahkan kepada setiap pengamat melalui pemodelan, sintaktik formal maupun narasi ilmiah. Aparatus ilmiah—tak ayal—menyajikan eksplanasi yang akurat atau dengan nada yang lebih moderat mendekati kebenaran (approximately true). Di ruang kelas, mereka mengatakan kepada kita dengan narasi seperti ini barangkali; paus itu bukan ikan, dia mamalia. Hampir tidak ada celah untuk mendukung ikan Paus sebagai ikan, para ilmuwan telah melakukan observasi, menemukan dan melakukan eksperimen terhadap spesimen Paus di Antartika yang bersalju, bahwa Paus memiliki karakter yang identik dengan mamalia, mereka melakukan termogulasi konstan terlepas dari lingkungan (endotermik), semisal, pada kondisi lingkungan yang dingin (di bawah suhu rata-rata, biasanya 30°C) mamalia cenderung merasa lapar, mengingat mereka memproduksi panas melalui energi yang terberikan. Selain itu, paus memiliki bulu folikel yang terkonstituen dari karatin, persis seperti rambut manusia.
Penyelidikan dan kesangsian para taksonom terhadap frasa “predikat apa nampaknya yang paling cocok diemban oleh Catacea?” sudah dimulai circa abad ke-20, tepatnya, Goerge Gaylord Simpson pada tahun 1945 menulis dalam nomenklaturnya A New Classification of Mammals “karena adaptasi sempurna dari Catacea sehingga mereka terlibat dalam kehidupan akuatik yang lengkap, dengan semua kondisi fisiologis tercukupi, semisal karakteristik respirasi, sirkulasi, pertumbuhan gigi, penggerak, dan lainnya. Cetacea secara keseluruhan adalah mamalia yang paling aneh dan menyimpang (Romero, 2012;1). Barangkali, kerja taksonomis oleh Simpson tak cukup usang jikalau digunakan sebagai sarana pedagogis, tentu sangat efektif. Namun, genealogi distingsifitas terhadap (mamalia) yang bernama Paus sudah termaktub pada anteken kepunyaan Aristoteles bertajuk Historia Animalium, ditulis oleh tinta tua abad ke-4 sebelum mesehi atau dua ribu empat ratus tahun silam. Aristoteles, mampu membedekan antara relasi homologi dan anologi jenis pada organisme, ia prima facie, memisahkan Catacea dari jenis ikan, selanjutnya melakukan analisa identitas, Aristoteles mengindentifikasi dan mengategorikan Catacea sebagai viviparous quadrupes; vivivar mendenotasikan perkembangbiakan dengan cara melahirkan, terangnya, semua tipe respirasi mamalia disemburkan melalui bantuan mekanisme paru-paru serta lumba-lumba, orca dan paus balin memiliki folikel khas semacam bulu babi, dengan demikian Aristoteles—untuk pertama kalinya—mengklasifikasikan paus terpisah dari ikan.
Taksonomis melacak sejumlah arketipe sebelum melakukan distingsi terhadap objek-objek natural, ajukan; klasifikasi dari infraorder Catacea (i):
Klade: Cataceamorpha 🡪 Ordo: Artiodactyla 🡪 Kelas: Mammalia 🡪 Filum: Chordata 🡪 Kerajaan: Animalia
Skema klasifikasi (i) merupakan konsep yang diintroduksi oleh Karl Jordan (1905;171) bahwa seorang taksonom tidak dapat berharap untuk mendapatkan kelengkapan keperluan klasifikasi hanya pada skop fenotip individu melainkan lebih dari itu, kepentingan pemahaman terhadap keragaman dinasti spesies dapat dicapai dengan cara memahami episode pewarisan dari populasi lokal (Mayr, 2001 menambahkan beberapa keterangan syarat kontemporer). Barangkali, di ruang kelas, kita masih meragu, eksplanasi yang memaparkan rime perbedaan paus dan ikan tidak cukup untuk memuaskan dahaga pengetahuan; lalu, bagaimana para taxonomis membuat distingsi yang signifikan tentang spesiasi paus dan ikan. Bukankah paus dan ikan tetap bertempat tinggal di perairan?
Selanjutnya, kita akan bersua dengan metode yang digunakan oleh taksonom sehubungan dengan kegiatan klasifikasi terhadap organisme (terutama metazoa). Klasifikasi terhadap organisme adalah sekumpulan penamaan yang diurutkan secara hierarkis, terpadu dan semakin inklusif sehingga sukses disematkan kepada jenis organisme sebagai manifestasi dari proses evolusi. Jenis (kinds) merupakan unit klasifikasi pada model (i) sementara individu adalah objek pembanding (Ohl, 2014; 4). Seperangkat definisi tersebut, membuat siapa saja dapat melakukan klasifikasi terhadap hewan raksasa yang tinggal dan menjelajah selama 90 tahun di bentang samudra; setiap tahun berselancar menuju laut antartika, mencari krill untuk disantap. Hewan itu biasanya kita sebut sebagai paus biru atau predikasi ilmiah dengan nama Balaenoptera musculus. Mana kala seorang taksonom berhasil mengoleksi properti esensial dari paus biru, ia melakukan komparasi identitas dengan spesimen dan spesies yang pernah teramati, apakah paus biru berada pada satu jenis yang sama dengan paus relatif atau sebaliknya, proses identifikasi tersebut membawa para taxonom menuju retensi data organisme; lokus taxa bagian mana yang dapat menyimpan karakter dan properti paus biru setelah dikurasi. Selanjutnya, kepemilikan akses terhadap retensi paus biru, membagul taxonom pada program riset untuk kepentingan aplikatif maupun epistemik.
Ide dari eksplanasi tersebut adalah upaya mengatakan kepada kita bahwa aparatus ilmiah berupaya menjelaskan realitas sedemikian adanya, realitas yang benar dan telanjang, tak ada distorsi politis dan nilai; pengetahuan ilmiah memberikan kita pemahaman lengkap ihwal teka-teki fenomena dan jenis natural. Eksplanasi ilmiah memberikan kita pengetahuan natural tentang properti esensial dari Balaenoptera musculus. Dengan tesis tersebut, Catacea adalah jenis natural yang memiliki set properti intrinsik dan Balaenoptera musculus merupakan token niscaya dan cukup untuk diklasifikasikan ke dalam kelas “natural” mammalia. Namun tesis tersebut bermasalah ketika, tidak hanya ada satu kategori atau kerja klasifikasi yang mapan pada proyek texonomik. Misalnya bagaimana dengan konsep filogenetik, paus biru adalah mamalia yang bervolusi dari hewan kecil pada periode bernama Indohyus yang mengacu pada pohon filogenetik berevolusi dari kelompok reptil bernama synapsids ketika periode Pennsylvania circa 310-275 juta tahun lampau. Sehingga, inferensi jenis natural tidak cakap ketika harus menjelaskan pertanyaan semacam mengapa esensi itu bersifat kontingen? Pada sebagian derajat, mungkin esensi yang kontingen tak menjadi duduk persoalan, mamalia dan reptilia walaupun dengan ronde yang inklusif masih termasuk dalam filum chordata, keduanya diasumsikan terkonstitusi dari esensi yang mendukung, sehingga tesisnya sedikit bergeser dari (Williams,2011;151-154):
(i) Esensi dari jenis natural adalah set properti intrinsik; menjadi,
(i*) Esensi dari jenis natural adalah set dari properti relasional atau instrinsik.
Duduk perkaranya mencuat kepermukaan tatkala kita bertanya ‘Jika, properti jenis natural bersifat natural maka hanya ada satu jenis yang menentukan makna semantiknya, sisanya hanya sebagai detail, sehubungan dengan itu, taxa mana yang menentukan makna semantik ketika kita mendenotasikan paus biru (sebagai ikan) dengan bahasa sehari-hari atau Balaenoptera musculus oleh bahasa ilmiah?’ Memang bahasa ilmiah seringkali mendeterminasi bahasa sehari-hari, namun, contoh demikian sangat bermasalah; kita mendenotasikan kata ikan kepada binatang yang hidup di air, biasanya menghabiskan sepenuh hidupnya di sana dan kata tersebut tidak memerlukan pengetahuan latar belakang yang bersifat ilmiah, sementara itu; di sisi lain, kata Balaenoptera musculus adalah mamalia membutuhkan latar belakang pengetahuan ilmiah. Keduanya, adalah bentuk aplikatif pengklasifikasian terhadap organisme yang dianggap merujuk pada entitas yang sama. Kita, barangkali dapat menyimpulkan bahwa klasifikasi sangat mudah untuk diciptakan, kita bisa melakukan klasifikasi terhadap objek dengan warna merah, benda bermassa 1kg atau lebih walaupun itu sangat artifisial, meski begitu kita tidak perlu memosisikan beban ontologis di tempat pertama, melainkan setelah signifikansi empiris.
Bahasa sehari-hari yang diwakili oleh akal sehat sangat mungkin mendenotasikan paus biru kepada jenis ikan dan mengapa ini tidak bermasalah? Mari kita bayangkan sedikit cerita di samudra, seorang pemburu; katakan di lepas laut Antartika sedang mencari paus biru dengan tujuan untuk berburu, ia—tanpa pengetahuan ilmiah tentang Balaenoptera musculus—mengklasifikasikan paus biru sebagai ikan dari jenis yang berbeda dari paus balin dan terpisah dari lumba-lumba, model yang ia gunakan sebagai representatif adalah pola hidup dari ketiganya dan kedalaman tempat persinggahan mereka ketika mencoba bersembunyi atau nada yang lebih radikal; tarikan mereka ketika terjerat kail. Secara intuitif, pengklasifikasian ikan bagi pemburu akan lebih signifikan untuk berburu ketimbang Balaenoptera musculus sebagai mamalia. Ambil contoh lain, bunga Lili merupakan jenis yang sama dengan bawang putih, mengingat keduanya adalah member dari keluarga Liliaceae, namun akal sehat memisahkan keduanya, bagi seorang yang pandai atau setidaknya mengerti bagaimana caranya memasak, ia akan mengklasifikasikan bawang putih sebagai atau ke dalam peran bumbu-bumbuan sedangkan Lili adalah tanaman hias. Tampak, keduanya tidak menjadi masalah, dengan demikian bahasa ilmiah tidak seluruhnya mendeterminasi bahasa sehari-hari, keduanya signifikan pada domain yang terpisah. Perhatikan skema berikut (Dupré, 1993;28):
X dengan tujuan T melakukan klasifikasi terhadap jenis natural N dengan menggunakan model M
Mari kembali ke ruang kelas dan dengan sedikit berbangga, mengingat pada paragraf terakhir ini kita bisa mengatakan bahwa paus bukan hanya mamalia, ia bisa menjadi ikan jika dan hanya jika ikan dideskripsikan sebagai organisme yang hidup, mencari pasangan serta berpergian di samudra dan kita memiliki tujuan tertentu mendenotasikan paus sebagai ikan, ingat! Seperti bunga Lili dan bawang putih. Di sana, ada sangat banyak cara yang mungkin tak terbatas yang sah dan objektif untuk mengklasifikasikan objek pada realitas.
Dupré, J. (1981). Natural Kinds and Biological Taxa. The Philosophical Review, 66-90.
Dupré, J. (1993). The Disorder of Things: Metaphysical Foundations of the Disunity of Science. US: Harvard University Press.
Jordan, K. (1905). Der Gegensatz zwischen geographischer und nichtgeographischer Variation. Z. wiss. Zool, 151-210.
Mayr, E. (2001). What evolution is. New York: Basic Books.
Ohl, M. (2014). Principles of Taxonomy and Classification: Current Procedures for. Handbook of Paleoanthropology, 1-20.
Romero, A. (2012). When Whales Became Mammals: The Scientific Journey of Cetaceans From Fish to Mammals in the History of Science. In A. Romero, & E. O. Keith, New Approaches to the Study of Marine Mammals (pp. 223-232). Croatia: InTech.
WIlliams, N. E. (2011). Putnam's Traditional Neo-Essentialism. The Philosophical Quarterly, 151-169.
0 Komentar