Nature Ethics: Identitas sebagai Panduan Menjalankan Kehidupan yang Baik

Bumba

 


Etika Aristoteles telah memperkaya pemahaman kita tentang evolusi melalui kacamata eudaimonik. Aristoteles memulai nature ethics-nya dengan menyatakan, “setiap seni atau ilmu terapan dan setiap penyelidikan sistematis, dan juga setiap tindakan dan pilihan, tampaknya bertujuan untuk kebaikan; kebaikan, oleh karena itu, telah didefinisikan dengan baik sebagai tujuan segala sesuatu.” Menurut Aristoteles kebaikan merupakan tujuan dari etika. Etika Aristoteles berpegangan bahwa moralitas manusia merupakan co-extensive dengan kehidupan manusia karena semua kegiatan kita ditujukan pada apa yang kita lihat sebagai tujuan yang berharga. Bagi Aristoteles, eudaimonia adalah kebaikan keseluruhan yang didasari oleh keterlibatan yang berkelanjutan dalam karakter manusia.

Dalam eudaimonia, Aristoteles berpikir bahwa sesuatu yang paling penting adalah aktivitas atau cara menjadi, bukan hasil. Titik sentralnya adalah hidup semaksimal mungkin sebagai manusia karena pada dasarnya kita lebih menyukai untuk bertindak baik sesuai kehendak dan keinginan kita dibanding atas dorongan perintah moral. Evolusi dari alam memberikan fakta bahwa jika kehidupan seseorang yang dijalankan dengan mengedepankan etika, maka akan terlihat pada aspek kebaikan yang didapat oleh orang tersebut.

Terdapat empat karakteristik kapasitas manusia dalam kesatuan identitas; pertama, fungsi eksekutif, yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengatur perilaku seseorang, fungsi ini sangat penting agar dapat memiliki rasa identitas yang koheren dan berkelanjutan secara temporal. Identitas ini berguna untuk memproyeksikan kehidupan seseorang ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu; kedua, identitas muncul melalui intersubjektivitas dunia bayi. Bayi memiliki kesadaran diri sebagai individu yang terpisah pada saat memasuki usia dua tahun dan mulai membuat referensi diri di tahun selanjutnya. Referensi yang terbentuk akan menjadi pemberlakuan identitas pribadi seseorang dan sebagai pembeda dari seseorang yang lain. Oleh sebab itu, manusia menjadi bagian kolektif dari setiap individu yang ada sebelum akhirnya mereka menentukan identitasnya sendiri; ketiga, mentalisasi, kemampuan untuk mengenali niat, emosi, dan keyakinan orang lain, adalah bagian dari apa yang membuat kita menjadi makhluk ultrasosial. Di sini kita dapat menyadari bahwa manusia ternyata selaras dengan niat dan emosi orang lain sehingga hidup kita akan tenggelam dalam aktivitas kawanan jika kita tidak memiliki proses identitas individu yang membedakan kita dari orang lain; keempat, identitas individu yang koheren dan berkelanjutan membuat kita mampu bertanggung jawab kepada orang lain. Identitas manusia adalah pusat dari pemikiran etis kita. Kita bertanggung jawab satu sama lain karena kita dapat memilih tindakan kita, dan tindakan itu memengaruhi kesejahteraan orang lain.

Pentingnya keempat proses identitas ini untuk kehidupan yang baik terbukti dalam konsekuensi yang menghancurkan dari ketidakhadiran mereka. Sifat imitasi yang luar biasa dan kesetiaan yang tinggi dari manusia melayani kebaikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebaikan manusia karena nilai instrumentalnya dalam meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup dan kelayakannya untuk dipilih bagi manusia yang menghargai pengetahuan itu sendiri. Imitasi manusia berpusat pada peniruan selektif tindakan disengaja orang lain. Imitasi yang tinggi memungkinkan untuk mempelajari keterampilan dan kemampuan yang luar biasa rinci dan ekstensif dari orang lain, tetapi juga menghasilkan kecenderungan yang sangat kuat terhadap normativitas. Normativitas memfasilitasi jenis kehidupan manusia dengan memungkinkan untuk menumbuhkan norma-norma sosial yang mendukung harmoni kelompok atau masyarakat yang kompleks seperti demokrasi, supremasi hukum, dan pasar.

Aristoteles percaya bahwa eudaimonia adalah akhir alami bagi manusia, sebab orang diprioritaskan untuk mencari jenis kehidupan terbaik. Dia juga mengatakan bahwa unsur-unsur yang membentuk eudaimonia adalah fakta, bukan hanya preferensi subjektif, atau dengan kata lan, nilai karakteristik barang manusia tidak dapat ditemukan hanya dalam penilaian subjektif. Menjalani kehidupan yang berkembang adalah keadaan yang dapat diverifikasi secara objektif. Dalam pembacaan Aristotelian mengenai kehidupan yang baik sebagai manusia adalah adanya hubungan sosial daripada individu, dan cara terbaik untuk mengejar sesuatu yang dimediasi secara sosial adalah melalui aktivitas konstitutif. Menurut Aristoteles, seseorang yang berpikir bahwa cara terbaik untuk hidup adalah mengejar kekayaan atau kesenangan sebagai tujuan utamanya tidak akan mendapatkan makna kehidupan yang baik, bahkan jika ia berhasil menjalani kehidupan yang sangat menyenangkan atau mencapai kekayaan besar, ia tidak akan berada pada puncak keutamaan eudaimonik.

Etika Aristoteles menekankan pada bagaimana memperoleh kebaikan dan cara untuk menjalankan kehidupan dengan baik. Kehidupan sosial menjadi indikator kelayakan bahwa seseorang dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Untuk mencapai keutamaan kebaikan tersebut dikatakan bahwa seseorang perlu menemukan identitas diri terlebih dahulu di tengah-tengah kawanan kolektif dan menciptakan identitas pembeda agar dapat memproyeksikan diri ke dalam kehidupan yang lebih baik.

 

REFERENSI

Fowers, Blaine J. (2015). The Evolution of Ethics: Human Sociality and the Emergence of Ethical Mindedness. Palgrave Macmillan.

Gert, B. (1998). Morality: Its nature and justification. Oxford University Press on Demand.

Stokhof, M. J. B. (2018). Ethics and morality, principles and practice. Zeitschrift für Ethik und Moralphilosophie, 1(2), 291-304.

 

Posting Komentar

0 Komentar