Fenomena Rekrut PPS: Hilangnya Nilai Profesionalitas KPU Pemalang

Diki Adi Almogawi
 


Bulan-bulan ini sedang menjadi bulan-bulanan KPU dan pemilihan umum 2024, pendaftaran PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), PPS (Panitia Pemungutas Suara) bahkan pantarlih mungkin banyak dibincangkan di setiap daerah. Perbincangan tidak sekedar tentang bagaimana memperoleh jabatan beberapa anak cabang dari KPU tersebut, namun juga mengenai isu keadilan, nepotisme yang membabi buta, hingga ungkapan bahasa halusnya “titipan” walaupun bagi orang yang mengerti maknanya akan terasa keras di wilayah akal sehat. Lantas mengapa KPU mengumandangkan profesionalitasnya secara merdu di hadapan pendaftar anak cabangnya? Atau justru isu-isu demikian yang disebut profesional? terlalu sembrono jika begitu. Latar belakang itulah yang digerutukan penulis dalam menyampaikan kata yang keluar dari akal waras dengan sendirinya.

Jika kita tulis di kolom pencarian google mengenai ‘profesional’ kemungkinan besar akan kita jumpai kalimat “profesional adalah seseorang yang ahli dalam suatu bidang”. Bisa kita garis bawahi, kata ‘ahli’ menjerumus dalam ranah KPU, ahli tidak sekedar ahli mengenai data validasi KPU saja, namun ada pendaftaran keanggotaan baik PPK maupun PPS. Seseorang tidak bisa dikatakan ahli jika ada prosedur yang tidak berisi nilai-nilai profesionalitas. 

Fenomena rekrutmen PPS di kecamatan Moga, kabupaten Pemalang menjadi bukti nyata adanya kerancuan nilai wawancara, sehingga mencacatkan profesionalitas itu sendiri. Bermodalkan rekap nilai wawancara yang terbongkar menuju setiap kepala para pendaftar, sudahlah cukup sebagai ‘bukti’ pembebanan otak yang dikungkung kata-kata, ingin rasanya dikeluarkan menuju susunan kalimat di hadapan layar pembaca. Sebagai kabar kotornya nilai keadilan, menjadikan nilai profesionalitas KPU hanyalah pajangan dan formalitas belaka. Jika tidak pernah dibahas, akan sampai kapan keadilan hanyalah kata yang mengambang di udara dan dilontarkan sebagai omong-kosong dari mulut para pewenang negri ini? Implikasi sewenangnya, dan demokrasi hanyalah ilusi. 

Fenomena rekrutmen PPS kecamatan Moga menjadi gambaran bahwa KPU belum sepenuhnya profesional dalam melaksanakan profesionalitasnya. Karena, saat test wawancara PPS diselenggarakan pada 15 Januari kemarin hanyalah berupa pertanyaan sepele, sekedar perkenalan dan dua butir pertanyaan mudah mengenai KPU. Anehnya, pertanyaan tidak sesuai poin-poin yang seharusnya dilontarkan oleh pihak PPK. Bahkan, saat rekap nilai wawancara terbongkar, ke-tidak-objektifan muncul tiba-tiba; se-akan-akan acuan final berada pada wawancara, sedangkan CAT (Computer Assisted Test) hanyalah formalitas belaka. Lantaran, di dalam rekap nilai yang memiliki nilai CAT dan wawancara tinggi bahkan digaris tebalkan sebagai tanda bahwa ia lolos justru ditelantarkan. Tidak sedikit orang yang mendaftar PPS menganggap permainan politik curang ada di dalam wawancara, terlihat ketika seseorang memiliki nilai CAT tinggi belum tentu ia lolos dalam wawancara, malahan bisa jadi mendapatkan nilai yang terpuruk lebih kejam dari dosen sekelas profesor saat memberikan nilai. Sebaliknya, pemilik nilai CAT rendah bahkan tidak masuk 3 atau 6 besar sekalipun bisa lolos dikarenakan relasi spesial. 

Kabar-kabar masuk dari mulut menuju telinga-telinga sepanjang jalan mengenai pendaftar PPS yang dititipi oleh suatu golongan (apa lagi kalau bukan partai?). Alasannya budaya silaturrahmi, padahal mungkin ia menenteng kata sebagai ungkapan pertolongan, bahkan ada pula pihak aktifis partai yang menunjuk dengan alasan demi pemilihan nanti ‘adil’. Hal itu jarang sekali pendaftar PPS lain mengetahui, karena yang masuk atau dipanggil hanyalah orang yang dikenal. Nah, pertanyaan besarnya bagaimana bisa aktifis partai mencidrai integritas seorang penyelenggara di tingkat PPK ataupun di atasnya? Masih abstrak dan satire, ini belum sepenuhnya ingin menjawab mengenai gerak-gerik partai yang mampu membombardir integritas KPU dari wilayah PPK. 

Diduga nepotisme, alasannya yang berhasil lolos dan diterima mayoritas orang yang dekat atau kerabat dengan pihak PPK ataupun KPU kab/kota, bahkan desa. Didapati cerita dari seorang teman yang bermukim dan menetap di ujung desa pantura Pemalang, ia diterima sebagai PPS lantaran orang tuanya bekerja di singgasana desa, bahkan ia mengungkapkan “mayoritas pendaftar PPS yang diterima adalah titipan dari suatu golongan ataupun ia memiliki kerabat di lingkup desa khususnya, karena penerimaan PPS besar kemungkinan dari desa”. Lalu, seseorang yang tidak memiliki power orang dalam dianggap percuma. Terlalu adil hingga menghilangkan keadilan.

Lalu-lalang keadilan selalu menjadi permasalahan, lantas akan sampai kapan keadilan menggaungkan perjuangan? Sekelas KPU saja, sebagai Lembaga pemilihan demi Indonesia mengamalkan pancasilanya, melantunkan nepotisme dari tingkat paling rendah. Menggadaikan profesionalitas demi menguntungkan kerabat dan sanak saudara bahkan partai. Lalu, bagaimana kabarnya menuju pemilihan 2024? KPU saja belum terbebas dari unsur oknum yang memanfaatkan kepentingan partai, sekedar menghilangkan nilai profesionalnya, tidak memahami mengenai kausalitas yang akan terjadi.

Posting Komentar

2 Komentar