Retrospeksi Tragedi | senandika

 Penulis: Imamfarx

pinterest.com

Pada suatu peristiwa. Merah senja pernah kau ubah menjadi merah darah. Biru laut pernah kau ubah menjadi biru memar. Kita laksana dua anak manusia yang baru lolos dari dogma. Bagai bercumbu di neraka, kudamaikan perasaan yang tidak kepadaku. Saat itu, di tanganmu kebiadaban tampak menggemaskan.

Padahal, saat kau kedinginan di tengah badai salju, akulah yang mendekapmu dengan angin tenggara. Kita pernah menghirup udara tropis bersama, saat binar matamu lugu dan senyumanmu lucu. Tapi barangkali, kau tidak merasa cukup dengan apapun yang kuusahakan sekuat diri. Bagai berbuat laknat di surga, ada orang lain yang kau puja. Sementara aku hanya dapat bertingkah tangguh saat kedurhakaanmu kian mendesakku jatuh, membiarkan harapanku lebur di inti bumi. Laksana korban gusur yang menanyakan keadilan, jeritanku tak kau dengar. Terang-terangan kau menggiringku pada kegelapan, saat tanganmu bertindak keji dengan cara paling terpuji.

Barangkali, keserakahan tengah bermanja-manja di kepalamu, yang anggun bagai kelopak bunga. Dan aku yang termantrai ini cuma dapat pasrah saat kau berbuat kasar dengan cara paling halus. Saat itu. Saat mata hati kau balas dengan mata pisau.

Sudahlah, aku tidak ingin terbakar di tengah surga, apalagi bergembira ria di tengah neraka. Kembalilah pada satu orang yang kau anggap dewa. Biarkan aku kembali sebatangkara di muka bumi. Biarkan aku melebur dengan buih samudera, dan merangkai kerangka di sayap senja. Aku akan berusaha mampu tanpamu; meskipun nanti, setiap hujan akan menjelma gempuran peluru.

Kembalilah ke tengah badai salju

Ke pelukan yang kau kira lebih megah

Jangan datang padaku lagi saat kau kembali berkabung

Sebab saat kau melangkah pergi, perasaanku juga turut angkat kaki

Pada senja dan laut, kita luruh menjadi tragedi




Posting Komentar

0 Komentar