Aborsi: Kontroversi dan Pemilihan Keputusan terhadap Psikologis Wanita

Nabila S Andini

Aborsi merupakan tindakan menggugurkan kandungan yang dilakukan oleh wanita, karena kehamilan yang tidak diinginkan dan memiliki dampak terhadap psikologis pelaku. Menurut prediksi BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Kehamilan tidak diinginkan dapat terjadi pada siapa saja, baik wanita yang sudah menikah maupun yang masih lajang, khususnya pada remaja. Dalam data yang dihimpun Guttmacher Institute di Indonesia dari seluruh kasus kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan tidak diinginkan paling banyak dialami oleh wanita yang telah menikah (66%), sementara pada wanita yang belum menikah hanya (34%). Kehamilan tidak diinginkan paling banyak terjadi pada wanita usia 20-29 tahun (46%) dan 30-39 tahun (37%), sementara pada rentang usia <19 tahun dan >40 tahun masing-masing hanya berkisar 8% dan 10% (Guttmacher Institute). Kehamilan tidak diinginkan tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, terjadi di seluruh dunia, pada tahun 2010-2014, diperkirakan terdapat 62 (IK 90% 59-72) per 1000 kasus kehamilan tidak diinginkan pada wanita usia 15-44 tahun. Sekitar 56% (IK 90% 53-60) dari seluruh kehamilan yang tidak diinginkan pada tahun 2010-2014 berakhir pada aborsi. Secara umum, terdapat peningkatan angka aborsi sekitar 11% pada negara-negara berkembang, sedangkan di negara-negara maju, angka ini berkurang sekitar 17%.

Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak melegalkan tindakan aborsi. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pasal 31, tindakan aborsi di Indonesia hanya dapat dilakukan jika terdapat indikasi kedaruratan medis atau pada kasus kehamilan akibat perkosaan, maka saat kondisi tersebut hukum aborsi berubah menjadi legal dengan syarat hanya boleh dilakukan oleh ahli medis. Sedangkan aborsi tanpa indikasi medis tetap dianggap sebagai tindakan yang ilegal dan melanggar hukum. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya wanita yang tidak menginginkan kehamilannya melakukan aborsi dengan diam-diam dan dengan cara yang tidak aman (unsafe abortion).

Masalah aborsi masih menjadi isu yang kontroversial diberbagai kalangan. Perdebatan pro dan kontra dalam kasus aborsi tidak hanya berhubungan dengan masalah kesehatan, namun juga berhubungan dengan etika, moral, agama, dan hukum. Pada dasarnya, hukum manapun melarang tindakan aborsi tanpa adanya indikasi medis, karena menggugurkan janin sama saja dengan membunuh janin tersebut. Dalam perspektif islam, sebagian ulama mengharamkan aborsi ketika janin telah berusia 120 hari kecuali untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.

Di Amerika, terdapat dua pandangan yang berbeda terkait isu aborsi, ada kelompok yang pro-aborsi dan anti-aborsi. Menurut sudut pandang pro-aborsi, aborsi diperbolehkan karena wanita mempunyai hak penuh atas tubuhnya dan berhak menentukan apa yang ingin dilakukan terhadap tubuhnya, dan melakukan aborsi adalah pilihan pribadi, bukan paksaan dari peraturan. Serta, doktrin agama yang menganggap aborsi sebagai pembunuhan tidak sesuai dengan realita sosial dan biologis. Sedangkan, menurut sudut pandang anti-aborsi, aborsi harus dilarang karena dianggap sebagai pembunuhan, aborsi bukan satu-satunya jalan untuk menghindar dari anak yang tidak diinginkan, serta kelompok pro-aborsi merupakan kelompok egois, karena hanya peduli dengan karir wanita dan kesenangan seksual tanpa mempertimbangkan tanggung jawab sosial.

Pada intinya, tidak ada wanita mana pun yang menginginkan untuk aborsi, karena dampak dari aborsi cukup besar dan berhubungan dengan nyawa sang ibu. Namun, kadang situasi yang tidak menyenangkan akhirnya membuat mereka memilih aborsi, maka di sini lah timbul konflik batin dalam diri sendiri apakah ingin tetap aborsi dengan risiko yang besar atau memilih untuk mempertahankan sang janin. Konflik ini muncul jika bertentangan dengan nilai religius dan tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, terlebih lagi orang terdekat yang tidak menyetujui keputusan untuk tindakan aborsi.

Dari fenomena di atas yang terjadi di masyarakat, maka esai ini bertujuan untuk memberitahu kepada pembaca bahwa aborsi memiliki dampak yang cukup besar dan sebelum wanita melakukan aborsi pasti ada konflik batin terhadap dirinya. Tujuan penulis mengangkat tema ini juga karena isu aborsi masih menjadi kontroversi baik dari segi pandang hukum, agama dan sosial di negara manapun, penulis ingin pembaca memiliki persepsi lain dalam memandang aborsi. Aborsi tidak selalu salah, namun juga tidak selalu benar, karena terkadang ada situasi yang benar-benar mendesak sehingga memilih aborsi sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah kehamilan yang tidak diinginkan.

Teori mengenai konflik adalah teori yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin, dengan definisi “Lewin defined a conflict situation as one in which the forces acting on the person are opposite in direction and about equal in strength” (Atkinson, 1964:89). Menurut Sarwono, konflik juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana ada daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Selain itu, konflik dapat terjadi akibat adanya vektor-vektor yang saling bertentangan dan tarik-menarik dalam lapangan psikologis seseorang yang kalau tidak segera diselesaikan dapat mengakibatkan frustrasi dan ketidakseimbangan kejiwaan.

Ada beberapa macam konflik, di antaranya:

• Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict); terjadi ketika individu menghadapi dua objek atau tujuan yang bernilai positif pada waktu yang bersamaan.

• Konflik menjauh-menjauh (Avoidance-avoidance conflict); terjadi jika individu dihadapkan pada pilihan dari dua objek yang bernilai negatif namun tidak dapat dihindari kedua-duanya.

• Konflik mendekat-menjauh (Approach-avoidance conflict); terjadi saat individu berhadapan dengan satu objek atau tujuan yang bernilai negatif dan positif sekaligus. Konflik ini mengakibatkan munculnya kebimbangan dalam diri individu. Ketika ia berusaha mencapai objek atau tujuan tersebut, maka hal negatif yang ada dalam objek tersebut akan mendekatinya. Sedangkan, penyelesaian dengan cara melarikan diri dari konflik justru akan menimbulkan permasalahan baru.

• Konflik mendekat-menghindar ganda (Multiple approach avoidance conflict); terjadi ketika individu diharuskan memilih dua objek yang sama-sama bernilai negatif dan positif sekaligus.

Terdapat pula konflik yang dibedakan berdasarkan sumber terjadinya dan dibagi menjadi dua bagian (Dafidoff, 1991), yaitu:

• Konflik internal (dalam diri sendiri), terjadi jika tujuan-tujuan yang saling bertentangan berada dalam dirinya sendiri, dan meliputi aspek kognisi dan afeksi.

• Konflik eksternal (di luar individu), terjadi bila terdapat dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan berasal dari luar individu.

Pengguguran kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berakhirnya kehamilan dengan dikeluarkannya janin (fetus) atau embrio sebelum memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar rahim, sehingga mengakibatkan kematiannya. Chang (2009) menyebutkan bahwa aborsi terjadi karena banyak hal dan lebih bersifat sosial, yaitu karena ketidaksiapan seseorang untuk mempertanggungjawabkan tindakannya setelah bersenggama baik di dalam maupun di luar perkawinan, buah kandungan tidak diinginkan, takut mengalami aib sosial dan penolakan dari keluarga, status anak yang akan dilahirkan tidak jelas karena perempuan yang mengandungnya belum berkeluarga, dan takut bila anak yang akan dilahirkan dicap sebagai anak haram.

Aborsi juga memiliki dampak terhadap fisik wanita, yaitu pendarahan, infeksi alat reproduksi (vagina, rahim, ovarium) yang dapat menyebabkan parametritis, peritonitis, dan abses panggul, gagal ginjal akibat masuknya sisa-sisa janin ke dalam sirkulasi darah, kanker, endotoxin shock (syok kuman), demam akibat alat yang dipakai tidak steril, nyeri panggul kronis, mandul atau sulit hamil, serta tersumbatnya saluran tuba sehingga menyebabkan tidak bisa hamil lagi. Sedangkan dampak terhadap psikis, yaitu Post-Traumatic Abortion Syndrome (PAS) atau stres pasca aborsi, dengan gejala cemas, sedih, marah, perasaan bersalah, malu, dan kehilangan harga diri. Selain itu gejala yang muncul adalah insomnia dan seringkali muncul rasa benci atau permusuhan dengan kaum pria, terutama pria yang menghamilinya (Chang, 2009).

Pelaku aborsi juga tidak sepenuhnya menginginkan untuk melakukan aborsi, pelaku memilih aborsi sebagai alternatif terakhir karena dirasa itu adalah alternatif yang menurutnya paling aman dan nyaman meskipun sangat sulit untuk melakukannya. Namun, ketika seseorang wanita ingin mengambil keputusan untuk aborsi, maka pasti akan terjadi konflik internal berupa pertentangan antara ingin mempertahankan janinnya (karena nalurinya sebagai seorang ibu) pertimbangan dengan berbagai resiko aborsi dan juga pertentangan dengan agama. Dan, konflik eksternal yang terjadi saat apa yang dikehendaki bertentangan dengan lingkungan atau keinginan orang-orang terdekat, misalnya seperti keluarga  atau pasangan yang meminta untuk melakukan aborsi agar tidak menjadi gunjingan para tetangga, padahal pelaku sama sekali tidak terpikirkan bahwa aborsi adalah solusi dar permasalahan ini.

Konflik Multiple approach avoidance conflict yang terjadi saat pelaku dihadapkan oleh dua pilihan yang sama-sama negatif dan juga positf. Contohnya, pelaku bisa saja menikah untuk menghindari aborsi dan mengurangi dosa yang sebelumnya sudah ada karena sudah berzinah. Namun, belum tentu pasangannya langsung setuju untuk menikah, dan belum lagi omongan-omongan tetangga terhadap perut wanita yang sudah membesar padahal mereka baru saja menikah. Dan, jika memilih aborsi, maka dosa yang ditanggung akan lebih berat lagi, tetapi dengan aborsi pelaku akan merasa aman dan terhindar dari rasa malu serta gunjingan tetangga.

Dan, selanjutnya konflik Approach-avoidance conflict terjadi ketika pelaku dihadapkan dengan pilihan yang negatif dan juga positif. Misalnya, saat pelaku ingin segera berpisah dengan suaminya tapi sedang dalam kondisi mengandung, maka hal itu dapat terjadi jika kehamilannya dihilangkan dengan aborsi. Namun, di sisi lain pelaku juga takut untuk melakukan aborsi, takut dengan segala risikonya dan juga dosanya.

Kesimpulannya, tidak semua wanita yang melakukan aborsi itu salah dan jahat, tergantung situasi dan kondisi yang dialami oleh pelaku. Aborsi juga diperbolehkan asal masih di bawah pengawasan tim medis, jika aborsi dilakukan seorang diri bahkan dengan bantuan non-medis, maka tindakan tersebut termasuk ilegal dan pelaku dapat dipidanakan. Dalam teori psikologi, khususnya menurut teori konflik Kurt Lewin, seorang wanita yang ingin atau akan melakukan aborsi selalu dihadapi dengan konflik, baik konflik dalam diri sendiri maupun konflik dengan dunia luar atau lingkungan. Jadi, pengambilan keputusan bagi wanita tentu melibatkan konflik internal dan konflik eksternal. Dan, untuk mengurangi atau mencegah bertambahnya angka atau jumlah aborsi di kalangan merupakan tanggung jawab semua kalangan, maka dibutuhkan kerjasama dari semua kalangan dan terus berkelanjutan atau berkesinambungan. Langkah-langkah dalam mencegah atau mengurangi bertambahnya angka aborsi, yaitu menghindari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk dapat menurunkan angka aborsi yang tidak aman, perempuan yang memerlukan aborsi karena kehamilan yang membahayakan jiwanya harus mendapatkan prosedur aborsi yang aman, serta perawatan pasca aborsi seharusnya dapat dengan mudah tersedia sehingga perempuan yang mengalami komplikasi karena aborsi yang tidak aman mendapatkan perawatan yang tepat.

 

Posting Komentar

0 Komentar