●
Secara umum, pemahaman mengenai liberalisasi perdagangan dan ekologi adalah suatu keadaan yang tidak selalu menyatu. Dalam implementasinya, salah satu harus dijadikan kambing hitam demi hidupnya pola yang lain. Saat ini perdagangan berkolega dengan liberalisasi yang bermotif kapitalisasi menampakkan ancaman besar bagi keberadaan ekologi hidup yang juga bagian dari kebutuhan primer makhluk hidup di dunia ini.
Isu mengenai liberalisasi perdagangan begitu Nampak nyata saat diratifikasinya Putaran Uruguay dan alih-alih WTO atau World Trade Organizations mendisposisi GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade. Dengan dasar ini, maka liberalisasi perdagangan mempunyai suatu Lembaga atau institusi dapat mengatur, membuat, dan mengesahkan kebijakan perdagangan secara lebih jelas.
Sebagaimana kita tahu, banyak negara berkomitmen baik negara maju atau berkembang untuk merawat lingkungan atau ekologi hidup memang telah disuarakan sejak KTT Bumi di Rio De Jenerio pada tahun 1992 yang menciptakan Agenda 21, beberapa program yang harus dikerjakan dibidang lingkungan.
Ciri-ciri liberalisasi perdagangan penuh akan syarat kebebasan arus barang, jasa maupun investasi liberal atau multilateral antar negara. Menghampiri naiknya kebijakan pengurangan bahkan penghapusan hambatan tarif maupun non-tarif semakin membuat beberapa negara dilemma, apakah benar institusi bernama WTO itu mampu berkomitmen menuntaskan isu tersebut sampai ke akar-akarnya.
Penulis melihat meluasnya isu ekologi telah memposisikan negara berkembang pada ruang dilematis, mula-mula ingin kepentingan ekonominya atau kepentingan lingkungannya. Kendati bagian kepentingan ekonomi sangat mendesak untuk meningkatkan pendapatan nasional negaranya sendiri. Lucunya, perusahaan-perusahaan besar di negara-negara industry, menyuarakan tentang lingkungan hidup mampu diejawentahkan dengan memberlakukan standarisasi lingkungan yang cukup jelas diantara homogen negara industri dengan menerbangkan perusahaan besarnya ke negara-negara berkembang dengan dalil mengurangi beban biaya yang mahal dinegaranya.
Sebagai penutup dari penulis, liberalisasi perdangan yang dihidupkan dengan segala sistematika dan permusan yang ketat dan njelimet, bisa jadi menghasilkan suatu konsep pengaturan perdagangan kapital yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Namun, haruslah ekologi dijadikan bagian utama dari pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya lingkungan manusia tidak dapat betahan dari kehidupan walaupun dengan semangat perubahan yang kapitalistik. Saya ulangi betapa negara harus menamcapkan kesadaran dan pemahaman dikedaulatannya faktor ekologi amatlah penting melebihi keegoisan kapital atau liberal !!!.
Merdeka!!!
REFERENSI
Jamtani, Hira. Jalan Panjang Rio 1992 Menuju Johannseburg 2002, Wacana, Insist, Edisi XII, 200
Greed, Jed dan Kenny Bruno. Kamuflase Hijau: Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-Perusahaan Internasional. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 19992
Strahm, Rudolf, H. Kemiskinan Dunia Ketiga, Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. CIDES, Jakarta, 1999
0 Komentar