Meningkatkan Ketenteraman Jiwa Melalui Pemikiran Filsafat Lama

 Alva Rizky
 


Dewasa ini banyak manusia yang menginginkan hidup mereka baik. Manusia mengeluhkan kehidupan tanpa bisa menemukan jalan keluar, sehingga berulang kali berpikir untuk mengakhiri kehidupannya. Manusia kerap merindukan ketenterapan jiwa, hidup dalam ketenangan pikiran, menjalankan kehidupan tanpa adanya masalah yang membelenggu, hidup tanpa penderitaan dan hidup menikmati alam serta mampu tidur dengan nyaman. Itu semua hal yang kerap diidamkan manusia dengan terus menerus merindukannya. Namun, kita tidak bisa menafikan bahwa masalah itu akan muncul dan eksis dalam hidup yang akan membuat manusia sulit mencapai ketenteraman jiwa. Sebenarnya, kunci meningkatkan ketenteraman jiwa itu terletak pada pikiran manusia itu sendiri.

Bila ingin membicarakan ketenteraman jiwa, kita tidak dapat mengabaikan bagaimana manusia dahulu dapat mengkontrol dirinya dari pelbagai masalah yang menghampirinya.  Banyak gagasan filsafat lama yang telah dikaji cukup dalam kemudian memfokuskan diri untuk mencapai ketenteraman Jiwa. Melalui ajaran tentang menjalani hidup yang baik, Ketika manusia telah mendapatkan ketenteraman jiwa, maka dapat dipastikan hidupnya berjalan dengan baik.

Pada dasarnya manusia yang berpikir tentu memiliki landasan bagaimana ketenteraman jiwa itu dan seperti apa menjalankan hidup yang baik sebagai manusia. Bagi Aristoteles tujuan akhir adalah kebahagiaan, adapun kebahagiaan yang dimaksud mampu hidup sesuai akal dan kebajikan. Hidup sesuai akal dan kebajikan dalam hal ini, manusia perlu mengedepankan akal terhadap tindakan dalam hidup untuk menemukan kebahagiaan. Landasan lain bagi Lao Tzu, filsuf Tiongkok “jika seseorang ingin menjaga pikirannya tetap damai dan tenang lebih baik ia menghindari diri dari situasi yang merangsangnya”. Dalam gagasannya, Lao Tzu lebih menekankan pada penahanan diri dari godaan akibat rangsangan di luarnya untuk mendapatkan ketenteraman jiwa. Semua itu Sebenarnya kembali pada control diri serta pikiran.

Ada banyak filsafat yang mengajarkan bagaimana menjalankan kehidupan yang baik untuk meningkatkan ketenteraman jiwa, karena banyak pilihan tersebut kita dapat mempertimbangkan filosofi mana yang relevan dalam hidup manusia yang semua itu hadir atas masalah yang sama yang kemudian membantu manusia untuk mencapai kebahagiaan melalui masing masing ajaran filosofisnya. Berlandas dari mereka ataupun landasan yang diciptakan untuk mendapatkan ketenangan hidup sendiri.


Ketenteraman Jiwa terletak pada manusia mengelola Pikirannya

Dalam hidup ini, tak ada satupun orang tanpa ketenangan pikiran dan jiwanya yang dapat bahagia serta bebas. Mencapai ketenteraman jiwa, fondasi awalnya terletak pada kedamaian pikiran yang kemudian akan melengkapi kebahagiaan dan kebebasan. Ini sejatinya adalah pencarian utama manusia dalam hidup meskipun ini tidak diketahui orang banyak. Seseorang mengelola pikirannya dengan baik akan bahagia dan bebas dan memiliki kehidupan eksistensial yang lebih terpenuhi. Oleh karena itu, menemukan kedamaian pikiran berarti menemukan kebahagiaan, kebebasan.

Mengapa pikiran menjadi sumber ketenteraman jiwa? sebab secara khusus pikiran itu merupakan istilah filosofis, psikologis, dan umumnya menjadi pusat semua aktivitas mental, berbeda dengan tubuh dan jiwa; intelek mengacu pada daya nalar, yang dibedakan dari kemampuan perasaan; otak adalah istilah fisiologis untuk struktur organik yang memungkinkan aktivitas mental, tetapi sering diterapkan pada kemampuan atau kapasitas mental. Berarti ketenangan pikian sebagai kondisi tidak adanya gangguan. Ketika ketenangan pikiran itu didapatkan pada fase tidak adanya gangguan serta agitasi dari luar melainkan ketenangan dimana hadir dalam diri pribadi manusia itu ketika pikiran tenang.

Ketenteraman jiwa, sangat berkorelasi akan bagaimana manusia mengelola pikiran yang damai. Dalam artian mendamaikan pikiran itu adalah kebiasaan yang harus dikembangkan, dipelihara dari waktu ke waktu dan itu akan menjadi sifat yang bagus jika diterapkan. Kedamaian pikiran bukanlah fenomena kebetulan, itu tidak didapat secara kebetulan, itu keluar dari upaya sadar seorang individu. Agar kedamaian pikiran ada dalam kehidupan seseorang, seseorang harus memiliki alasan yang cukup untuk melakukan apa pun yang diinginkannya. Tindakan tidak boleh dilakukan sembarangan. Seseorang tidak boleh diliputi oleh emosi ketika melakukan tindakan tertentu. Artinya, seseorang harus selalu kalkulatif dalam bertindak dan tidak merasa minder dengan orang lain serta menjadi otentik terhadap diri sendiri dimana tidak melakukan sesuatu karena orang lain melakukannya. Setelah mampu mengelola pikiran dengan bijak menghantarkan kepada ketenangan batin yang kemudian dapat dikatakan datang dengan usaha sadar, yang merupakan kebiasaan dan bukan kebetulan, bukan disebabkan oleh sikap sembrono terhadap persoalan-persoalan kehidupan.


Filosofi hidup untuk ketenangan Jiwa
 

Seperti yang telah dijelaskan diatas ada begitu banyak filosofi yang membantu untuk mencapai ketenangan jiwa. Namun setelah cukup banyak menjelajah pada dunia pikiran, memang untuk mencapai ketenangan jiwa itu tidak begitu jauh dengan yang namanya ketenangan pikiran, hanya saja ada barbagai metode dan dasar filosofis yang berbeda untuk mencapainya namun tetap saja menjadi sumber awal untuk itu semua pada pikiran.

Saya ambil contoh seperti filsafat Stoa, filsafat praktis yang menekankan bagaimana mengendalikan apa yang ada dalam kemampuan kita sebagai manusia dan sadar apa yang tak dapat kita kendalikan. Adapun tidak begitu memikirkan apa yang diluar kemampuan manusia untuk mengambil jalan alaminya. Filosofi ini meyakini bahwa kita tidak bisa mengendalikan semua kejadian, tapi kita bisa mengendalikan sikap kita terhadap apa yang terjadi. Sehingga mereka percaya tidak ada gunanya cemas dan takut akan kejadian di masa depan, karena bagaimanapun juga akan terjadi dan itu diluar kendali. Tetapi mungkin dengan tindakan kemauan untuk mengendalikan rasa takut kita. Oleh karena itu, kita tidak perlu takut akan peristiwa dalam arti sebenarnya kita tidak memiliki apa pun untuk ditakuti kecuali rasa takut itu sendiri. Dimana ketenangan jiwa ini sebagai mana diperoleh jika seseorang dapat menyingkirkan semua kesalahpahaman tentang hidup, dan belajar untuk melatih pikiran, serta emosi yang ada.

Satu lagi contoh dalam pendekatan Zen Buddhis, yang juga memiliki kemiripan dengan filsafat stoa dimana yang menekankan control diri dan akan pikiran serta emosi. Zen Buddhis melihat hadirnya penderitaan Ketika kita tidak dapat memahami masalah yang ada, oleh karena itu penderitaan dapat dilenyapkan hanya dengan memahami suatu masalah itu, yang kemudian solusi dapat ditemukan. Zen mengharapkan orang untuk mencari kebahagiaan di dalam hati mereka sendiri; mereka harus melepaskan semua hubungan di luar. Seperti kata Buddha “Keuntungan dan kerugian, mendapatkan dan kehilangan, kehormatan dan penghinaan, celaan dan pujian, kenikmatan dan rasa sakit. Semua hal ini tidaklah tetap dan akan terus berubah. Dengan memahami ini, orang yang bijak mengamati semua hal yang terus berubah ini, akhirnya hal-hal yang memikat tidak lagi menarik hatinya, dan hal-hal yang jelek tidak lagi menimbulkan penolakan dan penderitaan”. Kembali lagi pada pikiran yang aktif dalam melihat suatu masalah itu.

Pada suatu kesempatan saya membaca memoar yang bertajuk Man’s Search For Meaning ditulis Viktor E. Frankl seorang psikiater Austria yang menjadi tawanan Nazi Jerman, ia berhasil selamat dari kamp Auschwitz yang dimana hanya kemungkinan kecil untuk tetap hidup disana. Bagaimana ia dapat bertahan dari siksaan kamp kosentrasi tersebut terletak pada pandangan Frankl yakni pada “Pikiran” Logoterapi yang ia gagas dimana intinya kekuatan di luar kendalimu dapat merampas segala milikmu kecuali satu hal, kebebasanmu untuk memilih caramu menanggapi sesuatu. Kau tak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupmu, tetapi kau selalu bisa mengendalikan apa yang kau rasakan dan lakukan terhadap apa yang terjadi padamu. Frankl berpendapat bahwa kita tidak dapat menghindari penderitaan tetapi kita dapat memilih bagaimana mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan bergerak maju dengan tujuan baru.

Sekilas memang ketiga pemikiran itu berkorelasi pada ketenteraman pikiran yang akan menghantarkan pada kejiwaan yang lebih tenang, memang pemikian lama dapat menginfluensi pemikiran baru. namun kembali pada pikiran itu, manusia kerap memikirkan akan penderitaanya ketimbang apa yang dapat ia perbuat terhadap masalah itu, dan kita terfokus pada masalah itu bukan emosi yang hadir akibat masalah itu yang begitu buruk akan ketenteraman jiwa. Untuk itu pikiran menjadi pondasi menuju ketenteraman jiwa Ketika pikiran kita tenang kejiwaanpun akan mengikuti arusnya untuk tentram. Kebahagiaan itu bukan tergantung pada kejadian, namun tergantung pada pemikiran kita, begitu kata Buddha. Selanjutnya Marcus Aurelius pun berkata Kebahagiaan dari hidup anda bergantung pada kualitas dari pikiran anda. Jadi, ketenteraman jiwa berawal dari ketenangan pikiran. Apa yang kerap kita pikirakan itu yang akan membentuk diri kita, melainkan Ketika kita mengendalikan pikiran itu dengan bijak bukan pikiran itu yang justru mengendalikan kita. Dengan memperkaya nutrisi pikiran agar lebih aktif yang kemudian melalui upaya sadar inilah seorang individu berdamai dengan dirinya sendiri setelah menjadi sadar akan apa yang ada di sekitarnya dan pada saat yang sama mengetahui pendekatan terbaik untuk mengatasinya.


 

Referensi  

C. Nweke, PhD, Charles, and Chukwugozie Donatus Nwoye, PhD. 2017. "The Instrumentality Of Philosophy To Peace Of Mind". Scientific Research Journal V (Vi).

E. Frankl, Viktor. 2017. Man's Searching For Meaning. Jakarta: Noura Books.

Zhang, G. and Veenhoven, R., 2007. Ancient Chinese philosophical advice: can it help us find happiness today?. Journal of Happiness Studies, 9(3), pp.425-443.-9




Posting Komentar

0 Komentar