Kebaruan Evolusioner: Dari Mana Datangnya Kebaruan?

 Fahmi Ilman Ambiya
 


Kebaruan evolusioner yang spektakuler mengizinkan hadirnya keberagaman fitur morfologis pada setiap situs kenampakan hayati. Diversitas pola pada sayap kupu-kupu hingga variasi karakter fenotipik jenis rahang ikan cichlid dan meliputi amat tak terbatas jenis unik lainnya di alam raya, inovasi dan perolehan karakter morfologis nampaknya tak terhindarkan dari sejarah kejadian evolusioner, karakter unik dan parsial meskipun natural di alam namun sangat elusif ketika taksonom melakukan deskripsi dan klasifikasi terhadap kelimpahan organisme, misalnya ordo Coleoptera yang tersusun oleh lebih dari 400,000 spesies, kumbang dengan sayap elytra, kumbang rusa, kumbang badak, Chondropyga dorsalis atau komposisi fitur moderat dari keduanya. Jika kita telusuri, secara geneologis kemunculan jenis kumbang kontemporer tercatat pada kurun waktu 285 juta tahun lampau atau pada pembabakan zaman mesozoikum, skema filogenetik jika kita asumsikan valid dan berkoresponden dengan realitas maka itu mengindikasikan hadirnya kebaruan dan perubahan sifat pada skala waktu evolusioner. Sedikit mengejutkan bahwa fitur warisan yang diperoleh dari nenek moyang kumbang tidak menunjukan hadirnya ciri kebaruan yang begitu signifikan, dengan kata lain mereka dikategorikan sebagai organisme monofiletik (Whiting, 2002). Namun, ciri klade demikian tidak semerta-merta menunjukan tidak hadirnya kebaruan pada Coleoptera, jumlah pada fitur morfologi eksternal Coleoptera terekstrapolasi sejak tahun pertama kemunculannya, hal itu terobservasi pada ragam variasi torak, antena, elytra dan bentuk fisiologis Coleoptera lainnya, keragamaan evolusioner sukses menjadi eviden sehubungan dengan munculnya kebaruan pada fitur organisme, inferensi terbaik yang dapat kita pose adalah kebaruan merupakan fitur yang muncul seiring dengan keberlangsungan proses evolusi yang panjang. Proses evolusi yang memakan banyak waktu sejalan dengan besaran kepunahan yang telah terjadi sehingga tesis tersebut cukup meragukan jika diasumsikan dengan menempatkan hipotesis kemunculan fitur atau karakter pada spesies baru namun telah hadir pada fitur fisiologis spesies berbeda yang telah mengalami kepunahan, dengan mengambil bagian dari tesis kebaruan apomorfis akan sedikit memberikan napas segar pada kekurangan kriteria kebaruan evolusioner (Arthur, 2000;811), walaupun begitu tesis apomofis membawa derajat yang sangat permisif sehingga trivialitas berlaku pada skema inferensi kebaruan dengan tema apomorfis.

Mayr (1963;602) melihat kebaruan pada fitur-fitur organisme sebagai setiap struktur atau properti yang baru diperoleh yang memungkinkan kinerja fungsi baru, yang pada gilirannya, akan membuka zona adaptif baru. Mayr menghubungkan kebaruan kepada situs ekologis organisme ketimbang melihat dengan hanya melalui perspektif evolusioner, tesis ekologis cukup canggih mengingat kemunculan fitur kebaruan pada organisme terjadi pada episode adaptasi keseluruhan kolam radiasi grup, melalui isolasi geografis maupun reproduksi. Pigmen warna hitam pada sayap Biston betularia f. carbonaria belum terobservasi pra-tahun 1811, identifikasi dan koleksi terhadap pigmen hitam Carbonaria berlangsung di Manchater pada 1848, dan anehnya, pasca dekade tersebut jumlah dari ngengat bersayap hitam mengalami kenaikan pesat atau intensifikasi fungsi lari telah menyebabkan konversi kaki mamalia berjari lima (atau tangan) menjadi kaki dua jari dari artiodactyl atau kaki satu jari dari perissodactyl dan banyak kelenjar adalah hasil dari fungsi intensif dan konsentrasi lokal dari sel-sel sekretorik yang tersebar dan telah hadir sebelumnya. Sebagian besar perubahan dan kebaruan justru terjadi tanpa asal-usul evolusioner, suatu organisme tertentu, secara keseluruhan dapat beradaptasi untuk kepentingan perubahan fungsi pada relung.

Aksentuasi Mayr dan Simpson pada signifikansi peran ekologis dalam variabilitas fitur organisme mampu menjelaskan derajat hadirnya diversitas taksonomik, namun gagal pada pendekatan evolusioner, Mayr tidak menjelaskan bagaimana fitur baru yang hadir tanpa kompromi dengan radiasi adaptif atau fitur baru pada organisme kontemporer yang telah dimiliki oleh predesornya. Sejauh ini, bagi penulis tawaran paling moderat dengan tujuan keakuratan eksplanasi cukup tepat hadir pada terang Muller dan Wagner (1991;243) yaitu sebuah struktur yang tidak homolog dengan struktur relatif mana pun dalam spesies leluhur atau homonom dengan struktur lain dari sembarang organisme yang sama, dengan arti lain, kebaruan muncul tatkala homologi berakhir. Tidak seperti Mayr dan kolega, Muller dan Wagner mendeskripsikan ragam kebaruan sebagai fitur kontingen dari developmentasi organisme dan secara eksplisit tidak merujuk langsung pada peran ekologis, kecanggihan piranti penjelas M&G tidak hanya menyelamatkan tawaran kebaruan Mayr, namun memperbaiki tesis apomorfis yang trivial dan permisif, bagi M&G beberapa kejadian apomorfis berakar pada kebaruan namun sebagian tidak, sehingga konsep apomorfis tegak lurus dengan kebaruan evolusioner.

M&G mengaplikasikan kebaruan pada deskripsi bentuk sementara melekatkan inovasi pada kedapatan fungsi baru, dengan cara itu, setidaknya, distingsi terhadap fitur morfologis dari berbagai jenis organisme sukses dijelaskan melalui dua rute, evolusioner dan ekologis. Refleksi kebaruan yang dicerminkan oleh berakhirnya bentuk homologis dan mengindividuasi karakter tertentu tidak dapat diraih melalui keterjalinan developmentasi melainkan melalui tahap pewarisan sifat, oleh sebab itu tesis kebaruan evolusioner terjelaskan, yang kedua, inovasi merujuk pada diversitas takson level-tinggi seperti klade atau kelas yang perannya signifikan secara ekologis dan bergantung dengan pola adaptif. Pigliucci (2008;890) menerangkan isu konseptual yang tidak rigid dari tesis M&G, menurutnya M&G tidak menyertakan secara eksplisit referensi ihwal kebaruan ekologis, persoalan kebaruan dan inovasi walaupun disajikan terpisah disiapkan untuk penjelasan developmentasi. Pigliucci melakukan redefinisi terhadap kebaruan yaitu sifat, perilaku atau kombinasi dari sifat yang eksis sebelumnya, terjadi pada garis keturunan evolusioner dan menghasilkan performa baru dalam kelangsungan garis ekologis.

Teori dan model yang berupaya mendenotasikan kebaruan fitur morfologis tidak serta-merta memberikan kita eksplanasi yang lengkap tentang natur dari organisme, namun ketepatan kriteria parsial dari teori setidaknya sukses memberikan narasi ilmiah pada kemutualan informasi yang mutakhir. Kebaruan adalah fitur yang diwariskan dari rantai generasi, variabilitas yang tidak terhindarkan dibingkai oleh teori yang merepresentasikan sistem ekologis. Sejarah alam yang sulit, datang dari dua sudut kontras, baru dan mati.

 

REFERENSI

Arthur, W. (2000). Intraspecific Variation in Developmental Characters: The Origin of Evolutionary Novelties. American Zoologist, 811-818.

Erwin, D. H. (2019). Prospects for a General Theory of Evolutionary Novelty. Journal of Computational Biology, 735-744.

Mayr, E. (1963). Animal Species and Evolution. Cambridge: Harvard University Press.

Muller, G. B., & Wagner, G. P. (1991). Novelty in Evolution: Restructuring the Concept. Annual Review of Ecology and Systematics, 229-256.

Pigliucci, M. (2008). What, if Anything, Is an Evolutionary Novelty? Philosophy of Science Association, 887-898.

Whiting, M. F. (2002). Phylogeny of the holometabolous insect orders: molecular evidence. Zoologica Scripta, 3-15.



Posting Komentar

0 Komentar