Manusia Stoik dan Cara Memperoleh Kebahagiaan

Syamsul Arifin
 

Esai ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul “Filsafat Stoa sebagai Jalan Tenang menuju Kebahagiaan”. Pada esai sebelumnya, saya membahas bagaimana Stoik sebagai filsafat praktis mampu memberikan jalan menuju kebahagiaan dengan cara yang sederhana dan yang menjadi inti dari pengajaran filsafat Stoik, yaitu dengan memahami dikotomi kendali. Sebagai manusia Stoik atau yang ingin menjadi salah satu dari kaum Stoik, kita harus dapat mengendalikan hal-hal yang di luar kendali dan mampu lepas dari sesuatu yang berdampak negatif untuk diri kita sendiri. Sesuatu yang dapat kita kendalikan di antaranya meliputi emosi, keinginan, opini, tujuan, dan segala sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri. Hal ini dikaitkan juga dengan ajaran Stoik yang sering kita jumpai, yaitu “selaras dengan alam”. Esai ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana cara menjadi manusia Stoik agar kita dapat mereduksi hal-hal yang menguras emosi dan menghambat dalam perjalanan merasakan kebahagiaan sejati.

Stoikisme pada dasarnya bukan tentang menekan atau menyembunyikan emosi kita, melainkan tentang mengakui emosi kita, merenungkan apa yang menyebabkannya, dan mengingat apa yang ada dan apa yang tidak berada di bawah kendali kita. Dalam praktiknya, stoicisme melibatkan kombinasi dinamis dari merenungkan ajaran teoritis, membaca teks-teks yang inspirasional, dan terlibat dalam meditasi, perhatian, dan latihan spiritual lainnya yang membantu menstimulus pikiran positif kita.

Meskipun Stoikisme dirancang sejak awal sebagai filsafat yang sangat praktis, Stoikisme tidak akan menjadi filsafat jika tidak didasarkan pada semacam kerangka teoritis. Kerangka yang dimaksud adalah gagasan bahwa untuk menjalani kehidupan yang baik dalam arti eudaimonic, seseorang harus memahami dua hal, yaitu sifat dunia dan sifat penalaran manusia.

Untuk menjadi manusia Stoik, terdapat tiga disiplin Stoic yang mendukung dalam mencapai tingkat pemahaman sebagai manusia Stoik, di antaranya; pertama menyangkut keinginan untuk mendapatkan dan keinginan untuk menghindari (manusia tersebut harus dilatih untuk tidak gagal dalam mendapatkan apa yang dia inginkan atau untuk jatuh ke dalam apa yang ingin dia hindari); kedua, dorongan untuk bertindak dan tidak bertindak (bidang apa yang pantas bahwa kita harus bertindak dengan tertib, pertimbangan yang tepat, dan dengan perhatian yang tepat); ketiga, menyangkut persetujuan (agar kita tidak tertipu dan tidak mudah menilai sembarangan tentang sesuatu).

 
Gambar: Hubungan antara tiga disiplin Stoik (keinginan, tindakan, dan persetujuan) 

Diagram di atas merupakan rangkuman dari banyak pemikiran tentang Stoik, dan menguasai pemikiran tersebut adalah bagian dari cita-cita yang diinginkan oleh para kaum Stoik. Pada disiplin keinginan, orang-orang Stoik menganggapnya sebagai bentuk penerimaan, mereka menyebutnya Penerimaan Stoik (Stoic Acceptance).

Disiplin keinginan memberi tahu kita tentang apa yang pantas dan tidak pantas untuk diinginkan, atau dengan kata lain kita dapat mengartikannya sebagai bentuk pengendalian diri, bahwa beberapa hal berada dalam kekuatan kita dan yang lain tidak. Untuk mencapai pemahaman tersebut, kita dapat mulai menyadari bahwa dunia memang bekerja dengan cara seperti itu. Selain itu, untuk mengatur keinginan, kita memerlukan keberanian (untuk menghadapi fakta dan bertindak sesuai dengan fakta tersebut), kesederhanaan (untuk mengendalikan keinginan kita dan membuatnya sepadan dengan apa yang dapat dicapai). Disiplin tindakan atau dikenal juga sebagai Filantropi Stoik (Stoic Philantrophy) dalam arti kepedulian terhadap orang lain. Disiplin tindakan memberi tahu kita tentang bagaimana berperilaku di dunia. Disiplin ini pada akhirnya mengacu pada keadilan. Selanjutnya disiplin persetujuan (assent), yaitu tentang bagaimana kita bereaksi terhadap situasi. Seperti pada diagram di atas, disiplin ini dicapai melalui studi logika dan kebajikan kebijaksanaan praktis, yaitu tentang apa yang masuk akal dan tidak masuk akal untuk dipikirkan.

Kaum Stoik mengadopsi klasifikasi Socrates tentang empat aspek dalam kebajikan. Empat aspek ini sebagai empat ciri karakter yang saling terkait erat satu sama lain, di antaranya yaitu: kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Kebijaksanaan (praktis) memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang meningkatkan eudaimonia, kehidupan yang baik secara etis. Keberanian (dapat berupa fisik), tetapi dalam Stoik mengacu pada aspek moral, misalnya berupa pengambilan tindakan yang baik dalam situasi yang sangat menantang. Kesederhanaan memungkinkan kita untuk dapat mengendalikan keinginan dan tindakan kita. Keadilan dalam artian yang bukan mengacu pada teori abstrak tentang bagaimana masyarakat harus dijalankan, melainkan pada praktik memperlakukan manusia lain dengan martabat dan keadilan.

Pikiran-pikiran kaum Stoik di atas dapat kita praktikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar untuk memahami dan menyadari hal-hal yang di luar kendali kita. Hal ini bertujuan untuk tetap merasakan kebahagiaan, sebab terkadang kebahagiaan kita dapat dengan mudahnya tergerus hanya karena memikirkan sesuatu yang sebenarnya di luar kendali kita, dan itu cukup dapat menguras pikiran dan emosi negatif, sehingga kebahagiaan akan selalu berada pada ambang kekhawatiran. Terdapat tiga sumber kebajikan, yaitu beberapa berasal dari anugerah alami kita, beberapa diperoleh melalui kebiasaan, dan yang lainnya dapat diperoleh secara intelektual.


Posting Komentar

1 Komentar

  1. I predicted that you would become stoic, dari awal masuk filsafat. Great! Just be happy ya ^_^

    BalasHapus