Sajak-sajak Kemarau

Ali Aulia Ghozali
 


Tapak-Tapak Silam, Kini

untuk joglo tua yang menghadap ke jalan
di bawah bayangan pualam

Angin tak sudi menepi, bahang melantang
Dicucuk-cucuki, jangat terkerat duri
Tua muda, menjajakan sebutir, mari membeli
kicau melayang, pandang terbang, mengawang
lusuh di muka, gerbang gemerlap, harapan

Jelita…

Melepas penat, kamera paparazzi,
AKU pernah di sini selintas pentas
menghambur lalu dari
ceruk satu, ceruk lain, aksara luntur samar-samar

Terbayar…

Jemari lihai membentuk gaya.
Tahu APA? Apa daya. Jalinan cerita. Sirna.

kemudi maya, membisu pahatan batu-batu
Dan rekah tanah kemarau berseru
Dua ribu! Dua Ribu!
Tidak! Empat ratus ribu!

Dan joglo itu tetap diam memandang masa
Menatap kemuning padi, menari angin selaksa
menatap pualam, istana raja
dapur mengepul, baiklah saja, dipantau
Baliho berbaris, menjunjung berlapis

lestari…

Balung Buto, Lestari (?)

Sangiran, Juni 2019

 

Bogor: Separuh Jalan

10 tahun ini

Halimun turun, rindu membuncah
Awa belah, rinai tumpah,
Rawai Ciliwung, burai cerai tanah
Ibarat zaman selalu berbenah

Jilatan surya akan awak bernada
mengelilingi taman, istana negara
Dirubungi hijrah bandar Jakarta
rehatlah dirimu, purnama ratri

Bayu, wahai kiranya timur datang
Oh, waluku megah mengintip mega
Guratan usia tua-muda, pagi-petang
hiruk-pikuk pengendara, debu kotor

AYO!
Barisan kemudi, salip pelan
Entah sampai kapan, layang mobil satu-satu
jembatan itu berpasak bumi, kawan
Ada datang silih berganti, kenangku
Hanya sepuluh, waktu disisakan
Ingin hati berkelana pergi

Lantunan azan, berputar kala
Angin kemarau, alamat dingin tiba
Garam asam silih berganti,
.
Inilah jendelaku terakhir kali
Abdi, sang acawi, undur diri

Juni 2019



Selamat Jalan, Pak!

“Hidup bukan soal panjang pendeknya usia,
tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain”


Kala bumi mengamuk, lautan tumpah
Alam menggeram, gemuruh gunung, angin pecah, air susah
Napak tilasmu akan negeri
Kerja kerasmu telah tunai, purna bakti negeri
Paruh waktumu, di tengah sakitmu

Engkau, Lelaki paruh baya, tegak di tebing bumi
Memberi pencerahan,
mendamaikan orang-orang, berlari
Menuju ikatan duka cita zaman
Bersama dalam bangkit, tatap langit, meski perih, sakit

Sudah teguh langkahnya mengayomi
Lombok, Palu, Tanjung Lesung direngkuh
Sinabung yang tiada berhenti
Simbah peluh, tiada keluh
Walau diri tengah digerogoti
Napasmu direnggut rapuh

Saya jalani saja dengan ikhlas
Ini garis hidup saya


Selamat Jalan, Bapak
Istirahatlah dalam kedamaian
Sosokmu tegar lahir-batin
Iradat Tuhan membelaimu, rahmat nan mulia
Sentosalah

Kepada Almarhum Sutopo Purwo Nugroho
Guangzhou, 7 Juli 2019


NB:
Lalu gempa menitipkan salam padamu
Dari Bumi Ternate-Tidore
7.1

 

Alam Berdebat denganku

Kenapa bukan aku? Kenapa aku?
AKU!

Saat suratan alam yang aku pilih datang.
Tapi kan aku? Alam tidak kenal tapi-tapi.
Tapi alam? Aku kenal tapi-tapi

Bermuram membelakang...
Borgol diri mengekang.

Ya kan? Sejak kapan berhati tawar? Harga pasar-pasar
Alam menarik lenganku, lihat bujang-bujang kekar!
Terkapar dibakar sinar, tak lebur-lebur!

Lalu geligi beradu, cukup diam ditampar-tampar
Aku? aku

Aku? Ya! Melapukkan diri
Bertilam resah berkasur gelisah
Aku...

Nona jelita minta pemuda
Penuh gairah cinta seangkasa
Peluk rayu kerinduannya,
bukan ocehan air mata
bukan ratapan keada mega tak baka

Itu bukan AKU! Itu menghamba!
Berdikarilah! Untuk ber-aku
A-K-U
Yang menantang surya tiap terbitnya
Yang mengecup rembulan tiap malamnya
Yang terbaring sebagai perwira

Jangan pilih tanah mati-mati
Bila aku masih setia menghajar isi kepalamu
Sampai ketemu nanti


Tertanda: Alam

 

Petang Khayalan

Tua-muda, tinggi-rendah, semua merayap
Satu-satu di bawah tiga mata
Ranjang peraduan yang menanti senyap
Senjakala yang semakin menua
Menanti doa-doa menjawab semua yang berharap

Tarian anak-anak manusia saling mendorong
Berebut posisi, berebut tahta, berebut harta

Berbaris menuju ketetapan kosong
Relung-relung kepenatan hidup dunia

Binarannya jalaran api kuning
Belukar kota menjalari sukma, sia asa

Tepi-tepiannya paria terbuang,

Hiruk pikuk hening
Hiruk pikuk seling
Terpinggirkan ceruk ruang

Singgasana malam menyibakkan tabirnya
Selendang lembayung, perhiasan dirimu
Sampir di bahumu, rindu di hatiku
Sepanjang jalan pulang, dirimu, tujuannya

Pulang memadu memandu meramu
Bak malai turun dari takhtanya, aku

Sore ini,
Menuju rumah, bersamamu
Bayanganmu


Bogor, Juli 2019




Posting Komentar

1 Komentar