Good Girl Syndrome: Ketika Perilaku Baik Menjadi Sebuah Beban

 Nabila S. Andini

Setiap manusia diwajibkan untuk bersikap dan berperilaku baik terhadap sesama. Faktor penentu sikap dan perilaku seseorang ialah pola asuh orang tua. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak merupakan hal dasar bagi anak dalam belajar dan memiliki pengalaman hidup. Dalam suatu pola asuh terdapat ajaran mengenai norma dan tuntutan-tuntutan yang harus dipatuhi oleh anak. Salah satunya ialah bersikap baik. Setiap anak dituntut untuk selalu bersikap baik, khususnya anak perempuan. Tuntutan tersebut akan semakin besar jika perempuan tersebut merupakan anak dan cucu pertama yang dianggap bisa membanggakan keluarganya.

Seiring berjalannya waktu tanpa sadar anak perempuan tersebut tumbuh dengan pemikiran bahwa setiap perempuan memang diharuskan untuk bersikap dan berperilaku baik dalam semua aspek. Pemikiran tersebut diperkuat karena besarnya dorongan dari masyarakat bahwa sebagai seorang perempuan wajib untuk bersikap sopan dan taat aturan. Standar masyarakat terhadap perempuan cukup banyak, sehingga mau tidak mau setiap perempuan wajib mengikuti standar tersebut agar tidak mendapat perilaku buruk dari orang-orang sekitar.

Contoh yang sering kita temui atau mungkin dialami oleh diri sendiri sebagai seorang perempuan, yaitu “jadi perempuan jangan sering pulang malem nanti jadi perempuan gak bener”, “jadi perempuan harus nurut. Jangan suka ngebantah orangtua, gak baik”, atau “perempuan itu sikapnya harus sopan, penampilannya harus rapi, jangan seenaknya kayak cowok”. Kata-kata tersebut sudah seringkali disampaikan sejak kecil sampai dewasa. Oleh karena itu, wajar jika antar sesama perempuan juga sering melakukan labelling dan judging. Tidak semua perempuan memiliki prinsip girl support girl.

Beranjak dewasa tuntutan terhadap perempuan semakin banyak, standar untuk perempuan semakin tinggi, dan setiap perempuan harus bisa memenuhi semua tuntutan atau ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Tolak ukur kebaikan dan kesempurnaan seorang perempuan ialah jika dapat memberikan keturunan, melahirkan secara normal, membesarkan anak dengan baik, mengurus segala urusan rumah tangga, patuh perintah suami, mengurus dan menyenangkan suami dan keluarganya. Besarnya tuntutan, harapan, dan ekspektasi bahwa perempuan harus bekerja dan bersikap baik, maka tanpa sadar sikap dan perilaku baik yang ditampilkan berubah menjadi beban. Hal itu disebabkan karena perempuan tidak mendapatkan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Dalam psikologi ketidaksadaran perempuan yang membuat dirinya untuk selalu bersikap baik dan sikap tersebut dianggap sebagai beban disebut good girl syndrome. Good girl syndrome adalah kondisi ketika seorang perempuan memaksa dirinya untuk selalu bersikap dan menyenangkan orang lain tanpa peduli dengan dirinya sendiri. Good girl syndrome membuat setiap perempuan untuk lebih mengutamakan kepentingan dan kebahagiaan orang lain daripada diri sendiri, sehingga perempuan yang mengalami good girl syndrome akan selalu mengalah dan menghindari hal yang memicu konflik.

Good girl syndrome dengan people pleaser kurang lebih sama, tetapi good girl syndrome ialah sindrom berbuat baik dan menyenangkan orang lain yang hanya dialami oleh perempuan karena banyaknya aturan di masyarakat yang harus diikuti. Ciri-ciri perempuan mengalami good girl syndrome, yaitu:

•Takut mengecewakan harapan dan ekspektasi orang lain.

•Menghindari konflik dan taat aturan.

•Takut untuk berkata “tidak” atau menolak permintaan orang lain.

•Tidak berani mengutarakan pendapat karena takut menyinggung perasaan orang lain.

•Mengutamakan kepentingan orang lain dan melupakan kepentingan diri sendiri.

•Berpura-pura bahagia karena prinsipnya “tidak apa-apa asal orang lain senang".

•Menyalahkan diri sendiri jika gagal mengabulkan keinginan orang lain.

•Adanya keterpaksaan untuk selalu menjadi perempuan yang membanggakan dan berprestasi.

Penyebab seorang perempuan menderita good girl syndrome adalah pola asuh dan kultur sosial budaya di lingkungannya. Biasanya pola asuh yang diterapkan orang tua adalah pola asuh otoriter. Orang tua yang otoriter akan menuntut anaknya banyak hal untuk memenuhi ekspektasi mereka. Jika anak tersebut melawan atau memberontak, maka akan dihukum. Pola asuh yang digunakan para orang tua dipengaruhi oleh kultur sosial budaya di lingkungannya. Sehingga, para orang tua cenderung memasukkan norma-norma di masyarakat ke dalam pengasuhannya.

Contohnya, di masyarakat tidak ada aturan terkait jam malam untuk laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Masyarakat menganggap bahwa perempuan yang masih di luar rumah malam hari adalah perempuan tidak baik. Dengan demikian, orang tua yang mempunyai anak perempuan akan memberi batas waktu untuk jam malam. Sedangkan, orang tua yang memiliki anak laki-laki dibebaskan untuk pulang pada jam berapa pun.

Standar mengenai aturan dan norma untuk perempuan di masyarakat sudah dianggap sebagai adat istiadat turun-temurun untuk generasi perempuan-perempuan selanjutnya. Sehingga, secara tidak langsung ada istiadat masyarakat sendirilah yang menjadikan perempuan tanpa sadar mendukung dan melakukan hal-hal yang menimbulkan beban bagi dirinya sendiri. Menurut Maria Hartiningsih “perempuan adalah dunia perlawanan dalam dia, dunia pemberontakan dalam kepatuhan, dunia hening di tengah kacaunya hidup, dunia yang sepi dan sendiri dalam riuh, dan dunia berserah diri dalam rasa takut dan tidak berdaya.”

Good girl syndrome dapat diatasi dengan mencoba memahami dan mengenal apa yang diinginkan oleh diri sendiri, berani dan mau untuk mendengarkan perasaan tentang diri sendiri, dan memiliki konsep diri yang kuat, sehingga memiliki kepercayaan, keyakinan, dan rasa cinta yang tinggi terhadap diri sendiri. Berbuat baik dan menyenangkan orang lain bukanlah perbuatan buruk, tetapi jika kebaikan yang kita lakukan hanya akan menjadi beban, maka hal itu dianggap sebagai tindak kejahatan menyakiti diri sendiri karena mengorbankan perasaan dan kebahagiaan demi memenuhi ekspektasi orang lain bukan hal yang patut dibanggakan.

Setiap orang berhak bahagia dan harus memprioritaskan diri sendiri di atas kepentingan apa pun, termasuk perempuan. Perempuan dan laki-laki hanya berbeda jenis kelamin, sehingga tidak diwajarkan apabila terjadi perbedaan perlakuan jika hanya untuk diakui baik atau buruk dalam bersikap. Bukan kewajiban kamu sebagai perempuan untuk membahagiakan semua orang. Kamu seorang perempuan harus membahagiakan dirimu sendiri, sebelum membahagiakan orang lain.

Posting Komentar

0 Komentar