Fenomena Flexing: Memamerkan Kepalsuan untuk Terlihat Setara dengan Orang Lain

Nabila S Andini
 


Media sosial merupakan sarana bagi setiap penggunanya untuk mengabadikan dan membagikan setiap momen berharga berupa foto, video, ataupun sekadar sharing tentang kejadian sehari-hari, tetapi seiring berjalannya waktu, media sosial seperti beralih fungsi dari yang sekadar membagikan momen atau sharing pengalaman tertentu berubah menjadi tempat untuk pamer. Fenomena ini disebut sebagai flexing, yaitu istilah untuk orang-orang yang hobi menyombongkan dirinya atau barang-barang yang dimiliki dan tidak dimiliki. Oleh karena itu, adakalanya memang media sosial membuat trend ‘flexing’ semakin mudah untuk dikembangkan orang lain. 

Pada umumnya individu yang suka melakukan flexing seringkali dianggap berbohong, karena apa yang dipamerkan sebenarnya tidak nyata, mereka memalsukan hidupnya dengan memaksakan style dan mengikuti setiap trend agar mendapatkan validasi di lingkungannya. Menurut cerita dari salah satu youtuber bernama Rhenald Kasali mengatakan bahwa tidak sedikit orang yang ia temukan di beberapa acara memamerkan kekayaan, seperti menunjukkan jumlah saldo tabungan, total pengeluaran, pemasukan, dll. Ia juga menjelaskan bahwa ternyata ada organisasi di dunia yang berorientasi untuk melatih perempuan agar mendapatkan pasangan hidup yang kaya, lalu melatih cara berfoto dengan background mewah, dan pelatihan komunikasi via chatting untuk membangun branding dan image diri bahwa yang membalas chat ini memang orang kaya.

Dalam psikologi fenomena flexing diasumsikan sebagai trend untuk eksistensi diri, di mana individu yang berperilaku flexing disebabkan karena adanya dorongan untuk mengikuti standar kehidupan yang sama dengan orang lain, muncul rasa takut untuk ditolak dan dikucilkan, serta faktor kepribadian. Flexing tidak dapat dikatakan sebagai suatu gangguan psikologis jika tidak terlalu berlebihan dan tidak mengganggu, karena dengan perkembangan saat ini, maka trend pamer kekayaan adalah hal biasa yang dilakukan orang-orang untuk menunjukkan sisi lain dirinya.

Jika dilihat dari sisi positif, flexing dapat menjadi salah satu trend positif apabila individu mencari tahu lebih dalam lagi, misalnya individu yang berperilaku flexing memiliki dorongan untuk setara dengan orang lain, maka ia akan mencari cara untuk dapat memantaskan dirinya agar terlihat sama seperti orang lain yang ia inginkan, sehingga hal itu dapat menjadi motivasi untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Flexing dapat dianggap sebagai perilaku abnormal jika telah mengganggu, memaksa diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan lain di luar kemampuan melalui cara-cara yang merugikan orang lain dan diri sendiri, dan membuat individu menampilkan citra diri yang tidak sesuai dengan diri sebenarnya. Biasanya perilaku flexing yang paling sering yaitu, memamerkan hal-hal yang belum tentu terjadi, belum tentu dimiliki, dan memamerkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipamerkan.

Setiap individu seharusnya mampu melihat setiap fenomena dalam dua sisi yaitu, sisi positif dan negatif, sehingga individu tersebut dapat mengontrol dirinya. Beberapa cara untuk menghindari sisi negatif flexing yakni dengan mengelola ekspektasi. Jangan berekspektasi terlalu berlebihan jika kondisi dan situasi memang tidak memungkinkan agar tidak memicu dorongan untuk terlalu memaksakan diri melakukan hal-hal yang merugikan. Kemudian, melakukan kontrol diri, misalnya melihat apakah hal-hal yang sedang atau akan dilakukan memang bermanfaat, serta mengubah pola pikir dari yang irasional menjadi lebih masuk akal. Dan, jika bertemu dengan orang-orang yang senang melakukan flexing, maka diamkan saja, karena mereka yang melakukan flexing akan merasa sangat puas jika kegiatan atau hal yang dipamerkan mendapatkan atensi dari orang lain.


Posting Komentar

0 Komentar