Saat aku menjadi seekor kucing

Penulis: imamfarx


Malam itu puisi yang kugarap telah menuju babak akhir saat kepala seperti tertumpu beban berat, kehabisan ide dalam menentukan klimaks. Karena tak ingin memaksakan kinerja otak, kusandarkan kepala ke bahu kursi dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Seekor kucing yang gemar bertandang ke rumahku tampak tertidur pulas di beranda, dengkurnya tidak menyiratkan beban hidup sama sekali. Ia merupakan Kucing yang sudah amat kukenal, Kesibukannya Cuma makan, tidur, bertengkar, dan tak jarang pula ia bercinta. Kebahagiaan sudah seperti rutinitas hidup, berbeda jauh denganku yang rutin oleh tagihan kontrakan, hutang warteg, dan bayangan masa depan perut. Sebagai kucing, ia tak perlu hidup bergelimang rupiah, tak perlu juga seharian mematikan HP demi menghindari caci maki penagih hutang. Ah, betapa enak menjadi seekor kucing, pikirku. Andai takdir dapat ditukar, saa ini juga akan kucopot takdirku sebagai manusia dan mulai menapaki hidup sebagai kucing, hidup sebagai manusia terlalu rumit.
Tepat di akar pohon kelengkeng aku jongkok termangu, setelah dua jam lalu ditendang pemilik kontrakan yang datang memalak sewa. Mengingatnya saja sukses meremangkan tengkuk. Caranya sungguh amat vandal, dia berteriak dan menggendor pintu sembari melontarkan sumpah serapah yang terlampau buruk. Ujarannya terasa seperti tangan pengendang yang piawai menabuh gendang telinga. Tak cukup sampai di situ, dia juga menyepak alat-alat dagangku hingga berserakan. Murkanya kian meletus saat umpatan demi umpatannya Cuma disahut ngeongan kucing. Meski tak kunjung mendapat jawaban, dia tampak tak menyerah, dia terus mengumpat dan ngeongan kucing terus menyahutinya seperti mengejek. Ngeongan yang sama terus terulang sebanyak  ia menggedor dan mengumpat, tak pelak dia kian geram dan menendang kucing kurus itu hingga tubuhnya terpelanting ke gerobak es.

“wajahmu murung sekali kawan” teriak seekor kucing gempal sembari mendekat, sontak kupasang sikap siap tempur dan mengeraskan suara geraman khas kucing jantan

“Ayolah tak perlu sekaku itu, kita tak akan bertengkar hari ini, sepertinya kau pendatang baru” ujarnya sembari menaruh pantat

“oh baguslah, kau benar kawan, aku ditendang pemilik kontrakan pagi ini” jawabku, kucing gempal itu memberi lirikan empatik

“begitu rupanya. Jangan khawatir, sementara kau bisa bermalam di pos maling bersamaku” 

“pos maling katamu? Sepanjang jadi manusia, tidak sekalipun kudengar ada pos maling di wilayah ini”

“kau terlalu lugu sobat, kau tidak dengar petugas keamanan selalu gagal menangkap maling? Sebenarnya mereka bukan gagal, di belakang bahkan mereka berjabat tangan. Apa tadi? Jadi manusia katamu?” jawabannya membuatku terperangah, pantas saja petugas keamanan menyaraniku untuk mengikhlaskan sepeda motorku yang raib. Sepertinya kucing dapat menjadi intel yang awas.

“woi, kau belum menjawab pertanyaanku!” ia menjitak kepalaku

“ah maaf, aku menjadi kucing sejak semalam, awalnya memang aku manusia, bekerja sebagai pujangga sekaligus berdagang es kopyor, bait terakhir puisi telah merubahku jadi kucing”

“sulit dipercaya” jawabnya  sambil menggelengkan kepala

“tapi terserahlah, itu urusanmu” timpalnya

“begitu lebih baik. Begini, sepertinya mau turun hujan, sebaiknya kau lekas membawaku ke pos maling yang kau maksud”

“jika itu maumu, ayo saja” ia lekas bersejingkat sembari bersiul

***

“kita sudah sampai. Kardus di bawah meja itu kamarku, kau bisa pilih kardus manapun yang kau sukai”  ucapnya usai tiba di bangunan bobrok yang ia sebut pos maling

“kalau lapar kau bisa curi ikan hasil curian maling-maling di sini” imbuhnya

“yang benar saja, sepanjang hidup, sekering apapun lambungku, anti sama yang namanya nyolong” aku berusaha menolak, selama hidup sebagai manusia, semelarat apapun aku tak tertarik pada pekerjaan menggiurkan itu. Bukan karena khawatir dosa, tapi khawatir kalau hasilnya tak cukup untuk beli hukum.

“lihat dirimu, kau sekarang bukan manusia, mencuri masih dianggap standar moralitas kucing” ia melihat sinis ke arahku

“ya, kau benar, tapi meskipun begitu, aku terbiasa hidup berkemanusiaan”

“sudah kubilang, saat ini kau hanya mahluk belang kurus berkaki empat, terimalah dirimu dan mulai hidup dengan perilaku kekucingan” ia mulai kesal

“ah, baiklah baik, terserah kau saja. Kebetulan perutku sudah minta jatah, jadi tolong kau  katakan apa resikonya saat kepergok mencuri di sini?”

“tidak akan terjadi apapun, mereka akan membiarkanmu menyantap sebanyak yang kau mau”

“itu sangat aneh, mengingat mereka yang mempertaruhkan nyawa demi seonggok ikan anyir itu”

“jangan dipikirkan, anggap saja sebagai bentuk solidaritas sesama pencuri”

Aku tak menghiraukan kalimat terakhirnya, apapun alasannya bagiku sangat konyol, tapi cukup masuk akal juga kalau alasannya adalah solidaritas, atau boleh jadi malah imbalan tutup mulut. Ah, masabodohlah, pikirku. Sekarang yang terpenting adalah memanjakan lambung, berdasar yang kuamati, kesejahteraan kucing terletak pada perut. Lain dengan manusia yang kesejahteraannya terletak pada kerakusan yang terpenuhi.

Hari pertama sebagai kucing kulalui dengan menjajal kemampuan persendian kaki. Hasilnya sangat menakjubkan, aku mampu melompat ke atas meja reot setinggi kira-kira dua meter. Di atas meja kusingkap tutup box ikan, kebetulan tutupnya sedikit terbuka pada saat itu. Tanpa pikir panjang, kulahap berbagai jenis ikan elit yang tak akan mampu kusantap jika wujudku masih berupa manusia. Awalnya memang terasa aneh, terlebih ikan yang kumakan sudah dalam keadaan setengah busuk, tapi lidah kucingku segera bisa beradaptasi. Kesan pertama menjadi seekor kucing adalah kehidupan serba praktis. Kita tidak perlu banyak perabotan untuk memasak bahan makanan, perut adalah dapur terbaik.

Setelah perut sudah tidak bisa lagi menampung bangkai ikan, aku melompat turun dari meja dan betapa terkejut saat melihat motorku yang hilang tampak berdebu di pojokan toilet. Sepertinya sang maling gagal menemukan pengadah untuk motor jompoku itu. Jelas saja, mana mungkin ada orang suka rela membeli motor yang bahkan tidak bisa dibedakan dengan rongsok. Kecuali bagi penggemar benda-benda keramat, membelinya tampaklah masuk akal. Melihat kondisi ini, aku merasa terenyuh. Seandainya bisa, akan kubantu maling-maling itu untuk menguangkan motorku yang telah dicurinya.

“bagaimana? Kau sudah kenyang?” kucing atletis itu bertanya

“sudah, hanya saja  ikan-ikan busuk itu membuatku berfikir mendalam”

“aku tahu kau pujangga, tapi denganku tolong katakan terus terang, otakku tidak cukup tertarik mencerna majas” tanggapnya malas

“begini, moralitas manusia mengenal haram-halal. Tidak, maksudku moralitas agama. Kalau hasil curian adalah haram, apakah kalau aku mencuri hasil curian itu berarti barang yang kumakan kadar haramnya dua kali lipat?”  jelasku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali, ia terbahak untuk menanggapi pertanyaan ini.

“kau seperti pemikir etika abad klasik. Sekali lagi kutegaskan, kau Cuma kucing. Sudahlah, kucing tidak punya agama. Meskipun begitu, kucing lebih bermoral dari manusia”      

“terserah apa katamu” tanggapku kesal. Ia hanya menyeringai puas kemudian mengulurkan tangan

“ngomong-ngomong kita belum berkenalan, namaku Doplon”

“Aku belum memikirkan nama, kau punya usul?”

“Tarmujid! Ya, Tarmujid, bagiku itu unik”

“unik apanya, itu aneh. Tapi Okelah, anggap saja namaku tarmujid” aku membalas uluran tangannya, sebal. Ia hanya terkikik

“begini, Tarmujid. Karena aku yang memberimu nama, kau bisa menjadi saudaraku. Menggantikan adikku yang mati ketabrak truk”

“jika itu maumu, kenapa tidak. Turut berduka atas adikmu” aku berempatik

“jika kau tahu soal bangkai ikan itu, tolong jelaskan mengapa para pencuri masih menyimpan barang yang sudah busuk” desakku

“semakin busuk justru semakin laku pula, mereka menjualnya ke pembuat bakso curang dan produsen sosis illegal”

“sungguh menjijikan. Lantas Kenapa tidak ada warga yang penasaran akan bangunan ini?”

“tidak bagi perut kucing. Maling-maling di sini cukup pintar, mereka tahu bahwa warga di sini masih sangat percaya perkara mistis, mereka membual bahwa tempat bobrok ini dihuni mahluk ganas, siapa saja yang berani memasuki akan langsung disantap begitu menginjakan kaki di dalamnya”

“wow, strategi yang sangat berhasil. Bukankah itu lucu? Bahwa mahluk gempal berbunyi ngeong sepertimu dianggap mahluk ganas?” tanggapku sambil menyembunyikan tawa

***

Hari ke dua sebagai kucing, aku dan Doplon berjemur di atap bangunan bobrok itu sambil membicarakan seputar dunia kucing.

“kau lihat dua remaja berlawanan jenis sedang memasuki bangunan ini, plon?”

“ya, itu bukan kali pertama mereka kemari. Dan bukan Cuma mereka, banyak juga remaja yang lain” jawabnya

“apa yang akan mereka lakukan, bukankah kau bilang bahwa mereka sudah ditakut-takuti dengan hal mistis?” tanyaku menyelidik

“biasanya mereka datang untuk berbuat mesum. Kau benar, tapi selangkangan lebih mistis, bahkan mistisnya selangkangan dapat mengalahkan kemistisan apapun”

“wow, sangat menarik. Bisa kau katakan lebih?” tanyaku antusias

“dasar!, giliran selangkangan aja kau semangat” kecamnya, aku Cuma terkekeh

“sebagai kucing, banyak kuamati kehidupan manusia. Dan ternyata, manusia sekarang justru lebih gampang kerasukan setan selangkangan ketimbang setan di pohon beringin”

“siapa sangka, kau lebih kritis dari yang kuduga” Aku menampilkan wajah kagum yang dibuat-buat

“ya, jeniusnya lagi, sekarang selangkangan menjadi wahana marketing yang jitu. Produk yang iklan visualnya pakai selangkangan jauh lebih ramai pembeli. Selangkangan bukan Cuma berguna untuk memasarkan produk korporat tertentu, tapi juga untuk memasarkan diri sendiri. Kau lihat kan? Akun Instagram yang mengunggah selangkangan cenderung punya banyak pengikut?”

“kau tajam sekali plon. Benar, belakangan ini selangkangan mudah sekali viral di sosmed”

“betul!” doplon menjentikkan jari

“sekarang bukan setan yang memburu manusia untuk dirasuki, tapi malah manusia yang memburunya. Tak dapat dipungkiri memang, mungkin karena kerasukan setan selangkangan sensasinya berbeda, tidak seperti kerasukan setan pohon mangga yang bikin tak sadarkan diri” imbuhnya

“tapi dua jenis kerasukan itu punya kesamaan plon. Baik kerasukan setan keris ataupun setan selangkangan, dua-duanya bikin lemas” tukasku. Doplon terbahak memegangi perutnya

***

Pagi ketiga sebagai kucing, aku mencari-cari doplon yang tidak menampakan batang ekornya sejak dinihari.

“kau mencari saudara tampanmu ini?” bentak doplon

“aku merasa lapar, rupanya semalam ikan busuk disini barusaja laku”

“kau terlalu pemalas sebagai kucing Tar. Coba lihat diriku, aku memburu sarapan sejak pukul tiga pagi, hasilnya aku berhasil menyantap delapan ekor cicak” ejek doplon

“tapi jangan khawatir, kau bisa belajar berburu di sarang tikus” imbuhnya

“kau serius? Di mana itu?”

“kau melihat gedung megah beratap hijau di seberang jalan itu?” doplon menunjukan gedung yang dimaksud. Aku mengangguk penasaran

“di sana, kau bisa menangkap tikus-tikus gemuk, bahkan kalau beruntung kau bisa disogok dengan daging mewah agar tak menyantapnya” doplon menjelaskan dengan nada menggiurkan.

Tanpa pikir lama lagi, aku segera melompat pergi ke sarang tikus. Dan yang diomongkan doplon memang benar, disini aku melihat tikus-tikus yang sangat bersih dan gemuk. Aku tidak juga paham, mengapa banyak sekali tikus hidup di tempat semegah ini. Sebagian tikus sedang tertidur, dan sebagian yang lain sedang merundingkan cara teraman mengutil nominal keju. Anehnya, mereka tidak memperdulikan gelagat kucing liar yang kelaparan, mereka hanya melirik sejenak kemudian lanjut tertawa. Parahnya lagi, mereka bahkan tutup telinga atas suara ngeongan dan geraman kucing. Tiap kali aku berupaya menerkam mereka, dengan gesit mereka menghindar, bahkan ada yang menghindar sampai ke luar negeri. Entah bagaimana caranya, mereka seperti ahli sihir. Ini menyebalkan!, pikirku. Gara-gara Doplon aku pontang-panting di tempat terkutuk ini. Dengan hati yang masih dongkol, aku pergi keluar dari atap hijau dan berteduh di kolom jembatan, cuaca hari ini sangat panas. Aku melihat anak-anak kucel dibawah usia kerja sedang berteduh di sana sembari menghitung botol plastik di karungnya. Bersama-sama mereka tampak antusias memecahkan soal matematika dari buku yang diambilnya dari kotak sampah. Tak tahan melihatnya, aku melangkah pergi dan menuju tempat lain. Aku mendekat kepada anak yang sedang menyantap roti daging. Dari tampangnya, dia terlihat berasal dari keluarga berpunya,  aku berharap bisa mendapat secuil dari makanannya. Namun, bukan makanan yang kudapat, melainkan bogem mentah dari bungkus roti dagingnya, dan tiba-tiba saja, seorang anak kecil perempuan mengambilku dari sana, mengamankanku dari bogem lain yang bisa saja terjadi. Anak kecil itu membawaku ke lorong pasar yang sudah sepi. Dia membuka karung pembungkus kaleng bekasnya dan mengeluarkan sebungkus nasi rames. Dia menyodorkan sebagian dari makanannya tepat di depan kakiku.

“Cuma sepotong tahu ini yang bisa kukasih ke kamu, kucing kecil” ujarnya sembari menyuapkan nasi ke mulutnya dan sesekali mengelus punggungku.  Aku melihat matanya, dan bilang “meow”

 

***

“bagaimana? Berapa tikus yang kau tangkap?” Tanya doplon malam itu

“tak satupun!” tegasku jengkel, dia hanya terkekeh

“asah kuku dan suaramu, datang lagi besok!” ujar doplon. Aku tak menggubris, dan masuk ke kardus, berangkat tidur.

Sesuai saran doplon, pagi ini aku mengasah kuku dan membaca banyak untuk bersuara lebih lantang. Setelah merasa siap, aku kembali ke medan atap hijau dan menguji kuku serta suara yang telah lebih tajam. Tikus-tikus tampak kalang kabut dan menahanku dengan banyak penjaga di depan pintu. Namun, dengan seluruh kekuatan kucing yang lebih prima, aku berhasil menjebol masuk ke dalam. Mereka berhasil mengungsi ke berbagai tempat. Namun, ada satu yang tertangkap basah ditanganku, sepertinya dia sedang tidur saat itu. Dia meronta dan sesekali menggigit tanganku. Aku tak menyerah, terus kucengkeram dan ingin segera kujebloskan ke perut. Dia tampak kehabisan tenaga dan merintih lemah.

“jangan mangsa aku kawan” rengeknya

“tiada ampun!” tegasku

“ayolah” dia membujuk

“tidak!”

“begini saja, aku punya banyak daging menarik yang mungkin kau suka. Tentu saja lebih enak dari tubuhku ini. Kau bisa mendapatkan itu jika kau melepasku. Bagaimana?” tawarnya

“tidak, kau tidak bisa menyuapku, aku Cuma ingin makan tikus”

“atau begini” dia merogoh kertas dari sakunya

“kau tulis apapun yang kau mau di kertas ini. Kau pasti akan mendapatkannya. Dengan begitu, kau bisa hidup enak daripada menyantapku yang kenyangnya tidak bertahan lama” bujuknya. Benar kata tikus sialan ini, menyantapnya hanya akan jadi kenyang sementara. Tapi jika aku menerima tawarannya, aku bisa hidup enak dalam waktu yang lama, dan tentunya aku dan doplon bisa sesekali liburan dan tidak perlu lagi tinggal di tempat bobrok.

“bagaimana tuan kucing?” dia bertanya, menyadarkan lamunanku

“oke, kita sepakat!” tegasku. Sontak aku kembali berubah jadi manusia.

 

-2020

Posting Komentar

0 Komentar