Rutinitas tak Seburuk yang Dibayangkan

 Amorfrieden
 


Life is Journey not Destination
-Ralph Waldo Emerson

 

Terjebak pada suatu hal yang membosankan hingga sampai pada pertanyaan-pertanyaan kontemplatif seperti “mengapa dalam kehidupan kita melakukan hal tersebut terus menerus?”, “Mengapa kehidupan ini begitu monoton?” adalah hal yang wajar terjadi dalam hidup. Secara umum, mungkin bisa digambarkan kita bangun tidur, pergi kerja, makan siang, pulang ke Apartemen, kembali tidur, dan memulai semuanya dari awal; sebuah rutinitas yang benar-benar monoton. Apa yang saya rasakan ini tentu saya sadari bahwa orang lain pun mungkin akan merasakan hal yang sama pada kehidupan mereka.

Kita semua dilahirkan ke dunia, kita belajar berbicara, bagaimana berjalan, kita pergi sekolah hingga sampai pada perguruan tinggi, memulai bekerja pertama kita; kemudian menikah, mempunyai anak, membeli rumah, masuk usia senja; punya cucu dan suatu hari pasti akan meninggal. Itu siklus yang mungkin bisa digambarkan secara general hal tersebut sudah dapat kita lihat pada orang-orang, cepat atau lambat dikemudian hari kita kemungkinan akan merasakan itu semua atau bahkan tidak merasakan salah satunya, atau tidak sama sekali. Namun, dalam kehidupan yang dijalani cenderung berulang-ulang inilah yang berkesan monoton. Untuk itu, mungkin ada banyak orang yang telah mengakhiri hidup mereka yang mungkin saja mereka merasakan bahwa hidup hanyalah suatu proses yang repetitif tanpa tahu apa sebenarnya makna kita hidup di dunia ini dan cenderung membuat kita putus asa terhadap hidup yang kita jalani ini. Hal tersebut juga kerap menjadi pertanyaan filosofis orang-orang bahkan untuk diri saya sendiri.

Sejatinya, hal ini pula yang dipertanyakan oleh Albert camus. Saya kira kita sudah cukup familiar dengan nama filsuf eksistensialis itu. Baginya, konsep kehidupan adalah ‘absurd’, bahwa hanyalah pencarian sia-sia manusia untuk mencari arti hidup dan kebenaran dalam dunia yang tanpa arti dan acuh tak acuh ini. Segala bentuk pencarian kebahagiaan dan makna hidup sejatinya tak akan mampu kita dapatkan karena sesuatu yang kerap kita kejar justru akan terus menjauh. Untuk memahami alasannya, kita perlu melihat sekilas dalam esai klasiknya yang berjudul The Myth of Sisyphus. Seorang Raja yang bernama Sisyphus yang dihukum oleh dewa Zeus yang telah menakdirkannya untuk menggulingkan batu besar ke atas bukit setiap hari untuk selamanya. Ketika batu tersebut hampir sampai ke atas bukit, gravitasi akan menarik batu dan jatuh kebawah kembali, memaksa Sisyphus untuk mengulanginya lagi dari awal dan terus ia lakukan begitu selama-lamanya.

Mitos Sisyphus adalah alegori yang dianggap menggambarkan kehidupan manusia. Hukuman yang Dewa berikan kepada Sisyphus seakan hanya hukuman konyol yang tak berguna. Dari situlah Albert Camus melihat mengapa Mitos tersebut memiliki kesamaan terhadap kehidupan manusia yang juga berulang-ulang, tanpa makna, dan hanya berupa kesia-siaan; hal tersebutlah yang dikatakan oleh Albert Camus sebagai Absurd. Namun, kembali, Camus mengklaim bahwa walaupun hidup ini absurd, ia tidak membenarkan untuk bunuh diri sebagai solusi melepaskan kondisi repetitif yang telah membuat kita putus asa dalam menjalankan kehidupan. Camus menganggap sebaliknya, daripada mengeluhkan hal tersebut; kita membutuhkan "pemberontakan", dan syaratnya adalah menerima kenyataan absurditas ini. Dia kemudian menguraikan beberapa pendekatan terhadap kehidupan yang absurd, lebih lanjut dia berpendapat bahwa dengan penerimaan penuh sukacita perjuangan untuk melawan kekalahan dan kejamnya kehidupanlah, seseorang dapat memperoleh definisi dan identitas dalam kehidupannya. Camus mengakhiri essainya seperti ini:

“I leave Sisyphus at the foot of the mountain. One always finds one's burden again. But Sisyphus teaches the higher fidelity that negates the gods and raises rocks. He too concludes that all is well. This universe henceforth without a master seems to him neither sterile nor futile. Each atom of that stone, each mineral flake of that night-filled mountain, in itself, forms a world. The struggle itself toward the heights is enough to fill a man's heart. One must imagine Sisyphus happy.”

Kita dapat melihat bagaimana Sisyphus menerima takdirnya sebagai pendorong batu  ke atas bukit meski dia harus selalu melihat bahwa batu tersebut akan menggelinding kembali kebawah. Sisyphus tak menyesal dan putus asa, ia terus melakukannya dengan berjuang dan terus melawan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Penggalan kata akhir perjuangan itu sendiri menuju ketinggian sudah cukup untuk mengisi hati seorang pria. Orang harus membayangkan Sisyphus bahagia

Hari demi hari, kita hidup di dunia yang justru semakin dekat dengan kematian, kita hanya berfokus pada apa yang kita ingin capai terhadap segala bentuk rutinitas yang berlangsung tiap harinya, yang justru melupakan hal-hal kecil yang terjadi dan kita temui dalam hidup yang repetitif ini. Itulah sebenarnya yang ingin disampaikan Camus, bahwa kita perlu melihat kehidupan ini dengan cara yang berbeda dalam memperlihatkan bahwa hidup ini benar-benar tentang perjalanan, bukan melihat hidup ini sebagai tujuan. Hidup adalah alasan kita yang akhirnya settiap momen itu bisa menjadi suatu keindahan, atau memiliki makna yang pada akhirnya kembali pada interpretasi dan alasan kita. Selagi hidup yang kita lakukan memiliki nilai bagi kita maka hidup itu akan baik bagi kita.

Banyak yang menggap absurditas itu merupakan tentang keputusasaan, kematian dan kesia-siaan hidup. Namun, ini pun hanya menjadi referensi dari perjalanan kita untuk hidup di dunia bahwa pada akhirnya hanya kita yang mampu memberikan filosofi ke dalam hidup kita sendiri dengan melakukan apa yang dapat kita lakukan untuk menikmati hidup dan menemukan makna di dunia ini. Hal semacam itulah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Camus.

 

Posting Komentar

0 Komentar