Saya Mencintaimu, untuk Sementara Hanya itu yang Saya Punya

 Imam Farx
 

Saya Mencintaimu, untuk Sementara Hanya itu yang Saya Punya

Entah harus bagaimana lagi, banyak hal terjadi dan menimpa tanpa lebih dulu terprediksi. Sebagai manusia biasa, adakalanya cukup membiarkan semuanya berlangsung; mau undur diri namun tak sampai hati untuk bergegas pergi.

“Sudah, jangan menangis lagi. Dunia ini tak melulu berjejal orang-orang brengsek. Saya antar kamu pulang. Kalau mau nangis; lanjut besok saja, malam ini kau butuh tidur” ujar Dani, ia menggilas sisa kreteknya ke asbak. Ia menatap wanita di hadapannya, berupaya meyakinkan bahwa semuanya akan membaik.

“Jika terus seperti ini, tubuhmu juga turut melemah. Kau tentu tidak ingin berumur pendek, bukan?” imbuhnya, wanita itu lantas mendongak, balas menatapnya. Ia tampak sangat kacau. Tatapan matanya sayu, rambutnya berantakan. Tubuhnya bergetar, menunjukan betapa kerapuhan dirinya sudah mengerak, mengakar dalam waktu yang panjang.

“Sebentar lagi. Salah satu hal paling sulit dalam hidup ini adalah pergi tidur dengan hati yang hancur” jawab wanita di hadapannya, Namanya Lea. Kisah asmaranya, baginya, adalah mimpi buruk. Dia menjalani hubungan sebagai orang ketiga. Dewa, kekasihnya, menjadikan Lea sebagai pacar ke dua.

“Lima belas menit! Setelah itu kita pulang” tegas Dani, mengalah. Ia kembali menyalakan sebatang kreteknya, menghempaskan asap, membumbung ke langit.

Keadaan yang menyakitkan memang tak dapat dipungkiri. Lea telah melakukan apa pun untuk memperjuangkan hubungannya dengan Dewa. Semuanya sudah diberikan. Harapannya sederhana, Lea ingin menjadi satu-satunya kekasih Dewa saat lelaki itu gagal mempertahankan pacar pertama.

“Aku kurang apa, Dan? Aku sudah melakukan semuanya, permintaannya untuk selalu bisa meniduriku pun sudah kukabulkan, tapi mengapa ia lebih memilih dengan jalang sialan itu?” lirih Lea, tangisnya pecah, tubuhnya bergetar, telapak tangannya membekap mulut untuk meredam isak tangisnya, sesekali ia menghapus lolosan air mata.

“Kau bilang dunia ini tidak melulu berjejal orang-orang brengsek, kau mungkin benar. Tapi hatiku cuma untuk Dewa, aku susah sekali merelakannya. Aku tidak bisa, Dan, sungguh…” imbuhnya. Tangisannya semakin menjadi, napasnya tersengal-sengal. Ia menjambak rambutnya, isakannya kian brutal. Ia menangis, seperti biasa, jiwanya juga turut menitikkan air mata.

“Bahkan, seandainya dia memintaku untuk melakukan sesuatu yang….”

“Lima belas menit! Kita pulang sekarang!” tukas Dani

I

Di kamar kost, Dani merokok segila-gilanya, menyugar kasar rambutnya. Pikirannya tercabik-cabik, bercabang kemana-mana.  Dirinya selalu hadir di saat-saat Lea terpuruk bukanlah tanpa Alasan. Ia ingin wanita itu tak berkabung terlalu buruk, atau setidaknya tak menanggungnya seorang diri. Perjalanan asamara Lea dengan pacarnya telah mengguratkan luka serius. Dulu, tak jarang ia menemukan Lea dalam kondisi nyaris tak tertolong. Bukan karena percobaan bunuh diri, tapi karena depresi akut. Meskipun tekanan batinnya sangat rumit, ia tak pernah berminat mengakhiri hidup. Hanya saja ia sering pingsan, menderita sakit mag, dan sesekali over dosis. Meski sekarang sudah tak sesering dulu, Dani tetap tak ingin lengah.

Malam masih berlangsung, Dani menyalakan kreteknya, menghempaskan asap, kembali teringat perjalanan panjangnya dengan Lea. Ia mengenang. Dulu, Lea menelponnya, membawa sebuah kabar yang katanya bagus

“Akhirnya, Dan… Akhirnya Dewa menjadikanku pacarnya. Setelah begitu lama. Penantianku tak sia-sia, Dan…” ujar Lea di seberang sana, suasana hatinya terdengar riang, dia pasti sangat bahagia

“Wah, selamat ya. Tadinya kalau dia tetap menolak, saya akan mengajukan diri menjadi pacarmu” Gurau Dani.  Dengan tak kalah riang, ia mengucapkan selamat

Lea tergelak, “Jangan becanda, Dan. Cinta bukan hanya soal perasaan, namun juga fasilitas. Kalau jadi pacarmu, kau akan membawaku pada kesusahan. Selain asmara yang pahit, hal lain yang membuatku menderita adalah ekonomi sulit. Kau kan sudah tahu Dan. Kau tak ingin melihatku menderita bukan?” guraunya

Dani tercenung, “Lea benar” batinnya

“Haha, saya cuma bergurau, Lea” ujar Dani

“Terserah deh, Dan. Asal jangan sampai serius. Kau tetap jadi sahabatku saja” ujarnya

Dani mendengus, “Jangan anggap saya sahabatmu, Lea. Saya lebih berkenan jika kau menganggapku orang asing”

“Haha, baiklah Bung Dani yang terhormat, bisakah Anda mengatakan alasannya?” ujar Lea, berniat meledek

“Jangan konyol, Lea” balas Dani. “Seorang sahabat adalah orang yang selalu membersamai hidupmu, atau setidaknya tetap mengenangmu di kepalanya” jelasnya

“Jadi, Apakah Anda berniat meninggalkan dan melupakanku, wahai bung Dani yang terhormat?” Ledeknya lagi. “Kalau begitu, jangan Lupa mengabariku kalau mau pergi” imbuhnya, masih dengan maksud meledek.

“Jangan khawatir. Sudah dulu ya. Teleponnya saya tutup. Pelayan restoran harus sigap melayani pelanggan” pungkas Dani.

Mengenang selesai. Malam masih berlangsung, Dani kembali membakar sebatang kretek, menghempaskan asapnya, membumbung ke langit.

II

Rutinitas Dani setiap pagi berlangsung sederhana. Ia meminum secangkir kopi, membakar kretek, mendengarkan sedikit musik, dan memastikan Lea masih hidup.
“Kau masih hidup, Lea?” ia bertanya
“Masih, Dan. Semalaman aku susah tidur” jawab Lea
“Baik, pastikan kau makan dan meminum obatmu. Saya akan pergi kerja, kabari jika kau butuh sesuatu” pungkas Dani, lantas mengakhiri panggilan

“Tak mengapa, tugasku dilahirkan adalah untuk memastikanmu tetap bernapas” Dani bergumam. “Semoga dukamu segera usai. Aku tak cukup tabah untuk selalu menemukanmu rapuh” imbuhnya, lantas menyalakan sebatang kretek, menghempaskan asap, membumbung ke langit.

III

Usai Dani menutup panggilan, Lea kembali menangis. Punggungnya bersandar ke ranjang, lengannya memeluk lututnya sendiri. Ia tersedu-sedu, nasib percintaannya dengan Dewa seperti kubangan neraka, namun ia tak kuasa pergi, cinta telah mengungkungnya, merantainya dengan pedih dan harapan yang bersimpul-simpul. Entah sampai kapan ia akan menjadi pacar ke dua Dewa, ia hanya berharap agar lelakinya lekas menendang pacar pertamanya. Rasanya teramat pedih, andai Dewa adalah Dani, mungkin hidupnya tak perlu berkalung derita.

“Kau di Apartemen, sayang?” Tulis Dewa di pesan singkatnya. Mendapati itu itu, hati Lea seketika berbunga. Ia sangat merindukan kekasihnya. Setelah dua minggu, akhirnya kekasihnya itu menghubunginya lagi

“Aku merindukanmu. Aku berangkat ke tempatmu sekarang” imbuhnya. Melihat pesan terakhir Dewa, Lea tak ingin membuang waktu, ia segera menunjukan antusiasnya, mempersilakan kekasihnya berkunjung. Lia belas menit ia gunakan untuk membersihkan dirinya, ia berdandan dengan sempurna, riasannya menopengi seluruh luka batinnya. Ia tak ingin menampilkan keadaan dirinya yang sesungguhnya, tak ingin Dewa merasa bersalah. Perkara luka-dukanya, biarlah Dani yang menjadi curahan hatinya. Ya, Dani, hanya Dani.

“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tampak kelelahan sekali” tanya Dewa membuka percakapan, ia melihat Lea begitu lesu, Apartemennya pun tampak tak terurus dengan baik

“Baik kok, aku hanya kurang tidur, belakangan ini banyak lembur. Bagaimana denganmu? Jawab Lea sambil menyuguhkan kopi untuk kekasihnya

“Aku baik-baik saja, tapi sedikit lelah. Semalam aku menginap di tempat Anton” Jawab Dewa yang membuat Lea mendadak pilu, hatinya ngilu

“Oh, kau mengunjunginya? Bagaimana kabarnya?” tanya Lea, berusaha setenang mungkin

“Kabarnya tak ada masalah. Semalam aku memberinya jatah, jadi dia tampak bugar dan ceria” jawab Dewa, di sertai dengan lirikan nakal. Ia mengambil kopinya

 “Jadi aku kesini pun untuk memberimu jatah, agar kau selalu sehat dan Bahagia” imbuhnya disertai senyum nakal. Sedetik kemudian dia meletakan cangkir kopinya, beringsut menghampiri Lea, meraih bibirnya, melucuti seluruh pakaiannya.

Jiwa Lea terasa hampa. Bohong jika dia tidak menikmatinya, apalagi Dewa adalah orang tercintanya, ia mengharapkannya, menginginkannya. Namun entah mengapa, setiap kali Dewa menyentuhnya, hatinya terasa kosong. Seolah Lea hanya dijadikan alat, cuma selingan. Tak dapat dipungkiri, pikirannya berburuk sangka kemana-mana, terlebih Ketika Dewa lebih sering mencurahkan kasih sayangnya kepada Anton. Namun, Lea tak ingin menyerah. Dewa pasti memilihnya, pasti.

IV

“Kau tampak kelelahan sekali, Dan. Kau begadang lagi?” tanya rekan kerjanya

“Ya, saya terjaga semalaman, takut kalau-kalau Lea butuh bantuan. Kemarin kondisinya sangat kacau” jawab Dani

“Oh, masih soal perempuan itu” tanggapnya, menggelengkan kepala “Mengapa tak kau katakan saja bahwa kau menginginkannya. Jika kesedihannya tak bisa berakhir, ubahlah cerita hidupnya. Jadikan dia pacarmu!” lanjutnya.

Dani mendengus, “Menjadikannya pacar saya? Itu tak penting bagi saya. Kau tahu penghasilan saya. Dia tidak ingin hidup dengan golongan bawah, tak terkecuali saya. Dia sendiri yang bilang” jawab Dani

“Lantas untuk apa kau selalu memperdulikannya selama enam tahun ini? Itu hanya merepotkan dirimu, menambah beban pikiranmu. Kau pasti stres diam-diam. Kau merokok gila-gilaan” protes rekannya

“Saya hanya ingin memperdulikannya. Saya tak memiliki apa pun. Tapi semua orang butuh didengarkan bukan?” jawab Dani

“Okelah, tapi lihatlah dirimu. Dia bahkan tak pernah mendengar masalahmu barang sekali” protesnya lagi. Mendengar itu, Dani menghempaskan asap kreteknya, membumbung ke langit.

“Saya bukan ahli bercerita. Saya hanya mahir mendengarkan. Saya mencintainya, untuk sementara hanya itu yang saya punya”

“Tapi Dan…” temannya masih berupaya mengajukan protes

“Tapi jam kerja saya sudah selesai. Sampai bertemu besok” tukas Dani, disusul meletakan peralatan kerja, menyabet tas, meninggalkan restoran.

V

“Ini menjadi pertemuan terakhir kita, Lea” ujar Dewa sambil mengancingkan kemejanya, membuat Lea terkaget bukan kepalang, ia bingung.

“Ternyata selama ini Anton cemburu tiap kali aku menemuimu. Jadi maaf, hubunganku denganmu cukup sampai di sini saja” imbuhnya. Lea membeku seketika, hatinya hancur sehancurnya. Harapan-harapannya selama empat tahun telah runtuh dalam sekejap. Ia tak mampu lagi menangis, pandangannya berkunang-kunang, jiwanya pedih. Ia berdiri mematung, masih belum percaya. Dewa mendekat, menarik kepalanya, mengecupnya dengan singkat. “Saya pergi. Maaf” ujarnya, lantas bergegas, pergi tanpa menoleh, dan tak akan kembali.

Tubuh Lea luruh ke lantai, sekujur tubuhnya terasa lemah. Ia tertawa sumbang, betapa separuh dirinya seolah sudah mati. Di saat seperti ini, Dia butuh Dani, dia harus mencurahkan seluruhnya, tak ingin menanggung seluruh beban seorang diri. Ia lekas berdiri, tubuhnya lunglai, jalan tertatih-tatih menuju Dani. Ya, Dani!
 

VI

“Kau suka melihat senja, Bung?” tanya seorang pria tua, kira-kira berusia awal 60,  ia mengisap cerutu.

“Kurang lebih begitu” singkat Dani

“Kau pasti sedang mencintai perempuan” tebak pria itu, ia mengisap cerutu.

“Apakah Anda tahu bung? Sewaktu saya mencintainya, itu seperti mengambil foto senja. Ketika saya berpikir telah menangkap momen-momen terindah, selalu ada bagian berikutnya yang lebih cantik dari waktu ke waktu, itu berlangsung terus dan berulang sampai semuanya benar-benar gelap” jawab Dani, lantas bergegas melangkah pergi, menghempaskan asap kreteknya, membumbung ke langit.

VII

Lea tiba di sepetak bangunan kumuh berwarna hijau pudar.
“Dan, kau di dalam? Ini aku, Lea” teriaknya lirih. Lima menit berselang, tidak ada sahutan. Ia berniat menelponnya, namun lupa membawa ponsel. Ia memutar gagang pintu, tak terkunci, ia masuk ke dalam. Dia mengamati sekilas. Kamar kost itu tidak berubah sama sekali. Terakhir kali dia berkunjung adalah lima tahun yang lalu, tepat Ketika Dani sakit keras. Tak ada yang berubah, tak banyak perabotan, hanya ada satu Kasur tipis, satu tas pakaian, dan satu rak buku. Ia ingat bahwa Dani hidup sangat Hemat, katanya untuk membeli tanah penguburan, ia tak ingin bangkainya di buang ke hutan. Sekilas kenangan dengan Dani membuat Lea terkikik, sejenak lupa dengan lukanya. Tatapannya beralih ke rak buku. Ia melihat novel yang diberikannya ke Dani secara cuma-cuma. Ia mengambilnya, sejenak ia memicingkan mata Ketika mendapati banyak coretan di sana. Di balik sampul Dani menulis:

“Lea, Jika nanti dukamu sudah usai dan kau sudah menemukan suka-cita bahagia, maka saat itulah takan kuizinkan diriku untuk kau lihat lagi. Kau pasti takan menayakan kabarku, namun jika kelak kau ingin tahu keadaanku, maka pastikanlah dirimu sedang berbahagia. Selama keadanmu baik-baik saja, aku pasti tak kenapa-napa” berkali-kali Lea membaca namun tak mengerti maksudnya. Coretan demi coretan dibacanya, hingga ia menemukan tulisan “Aku mencintaimu Lea, berbahagialah, maka akupun demikian”. Mata Lea berembun, hatinya diliputi Haru. Novel itu menjadi teman keluh kesah Dani. Lea merasa sangat egois. Selama ini hanya ia yang ingin didengar, tanpa menanyakan apakah Dani juga ingin bercerita. Ia luruh ke lantai, ia menyesal telah mengabaikan. Ia terlalu dibutakan Dewa sampai tak mampu melihat ketulusan di mata Dani. Hidupnya kacau, Dani yang selalu mendamaikan. Sebelum terlambat, ia ingin menjadi miliknya. Dani adalah orang yang tepat untuknya. Bukan Dewa, Dani adalah orang yang harus dicintainya. Kini hatinya menghangat Ketika mengingatnya. Ketika dia berpikir bahwa dunia begitu sepi dan sudah berakhir, ternyata dia masih memiliki Dani. Tangisnya pecah, ia begitu menyesal dan terharu, ia ingin memeluk Dani secepatnya, meminta agar lelaki itu tak pernah pergi, ia mencintainya.

“Kau di sini, Lea?” Tegur Dani. Melihatnya tiba, Lea segera menghambur ingin memeluk lelaki yang sudah tulus mencintya, lagi-lagi tangisnya pecah. Tangannya berniat mendekap, namun Dani segera menepisnya

“Kita bicara di luar” ujar Dani, segera menarik tangan Lea. Ia membawanya ke tempat yang biasa didatangi Lea untuk mabuk-mabuk

“Nomormu tidak bisa dihubungi, Lea” ujar Dani membuka percakapan

“Aku meninggalkannya di Apartemen” singkat Lea

“Oke, Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Dani bertanya, menyalakan kreteknya, menghempaskan asap, membumbung ke langit.

Tangisnya pecah, “Dewa meninggalkanku, Dan. Hubungan kami sudah berakhir, Dia memilih lelaki jalang itu” ujar Lea, masih terdengar nyaring luka kekecewaan dan putus asa. Dani menghisap kreteknya, menghempaskan asap, membumbung ke langit.

“Baguslah. Sumber kesedihanmu sudah berakhir. Kini kau bisa memulai cerita baru dengan orang lain” tanggap Dani. Lea menggelengkan kepala cepat, ia menatap mata Dani

“Tadi ayahmu menemui saya. Beliau meminta saya membujukmu. Anak dari rekan bisnisnya berniat meminangmu sebagai istrinya. Dia bukan orang brengsek, hidupnya juga lebih dari berpunya. Kau akan hidup terjamin, tidak akan ada masalah asmara dan ekonomi yang dapat membuatmu berduka” imbuh Dani

“Tidak Dan, Aku ingin memulai cerita lain denganmu” ujarnya, matanya menampilkan ketulusan, tak ingin perduli dengan rencana orang tuanya.

“Jangan konyol, Lea” tukas Dani

“Aku serius, Dan. Aku sadar bawa kau yang paling mencintaiku. Kini hatiku menghangat tiap kali mengingat kenangan tentangmu. Aku mencintimu Dan” jawab Lea, ia memegang tangan Dani, dengan tulus, sangat tulus

“Tidak, Lea” singkat Dani, Lea sesenggukan, dia tak ingin kehilangan Dani, ia ingin memilikinya.
“kenapa Dan? Aku mencintaimu Dan. Bukankah kau mencintaiku juga? Apakah Kau tak mencintaiku Lagi? Tanyanya beruntun

“Cinta tak hanya soal perasaan, Lea. Namun Juga soal fasilitas. Saya tak dapat menjamin kau dapat menikmati hidup layak” ujar Dani, singkat.

“Aku tak perduli, Dan. Bawa Aku kemana pun kau pergi. Aku akan menerima kondisi apa pun saat hidup denganmu. Apa jangan-jangan kau memang tak mencintaiku lagi?” ujar Lea, tangisnya kian tak terbendung, ia tak ingin kehilangan

“Saya mencintaimu, Lea. Untuk sementara hanya itu yang saya punya” Jawab Dani, Lembut

“Kau mencintaiku, Dani. Sampai kapanpun hanya itu yang ingin aku punya” balas Lea, matanya menatap sayu, tak menyiratkan dusta

“Jangan berpiki gegabah, Lea” tegur Dani

“Saya sudah memutuskan pindah jauh dari sini, jadi maaf saya tidak bisa datang ke pernikahanmu” Imbuh Dani

“Jangan, Dan. Kau ingin meninggalkanku dalam kondisi seperti ini? Apakah kau berpikir bahwa aku akan selalu baik-baik saja saat kau tak bersamaku?” bujuk Lea, berusaha meyakinkan Dani. Sejalan dengan itu, Dani menggilas sisa kretek ke atas asbak, menghempaskan asap, membumbung ke langit.

“Jaga dirimu baik-baik, Lea” pungkas Dani. Ia melepas genggaman tangan Lea dari lengan kirinya lantas berdiri dan mengayunkan kakinya, pergi tanpa menoleh. Lea terus memanggil-manggilnya dengan suara parau. Tubuhnya terlalu lemah, tak kuasa untuk mengejar. Hidupnya benar-benar seperti telah hilang. Dani, orang paling mencintainya kini telah pergi. Ia mengenang masa lalu, ia menyesalinya.

Dani terus memacu kendaraanya. Pikirannya tak bisa tenang, suara Lea yang memanggil-manggilnya dengan suara parau itu terngiang-ngiang di kepalanya. Tatap mata yang sayu itu menghantuinya, ketulusannya benar-benar terlihat. Dani mengingat-ingat semuanya dengan perasaan gelisah. Dia kepikiran semuanya, tentang tangisnya, tatapannya, kesedihannya, dan ketulusannya. Ia kepikiran tentang semuanya, tentang wanita yang saat ini menangis di klub malam tanpa ponsel. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan kepada wanita itu. Ia berputar balik dengan cepat, menuju tempat Lea berada. Kendaraannya dipacu dengan kencang dan terburu-buru. Sesampainya di sana, tanpa pikir Panjang dia segera menyampaikan maksudnya

“Kau harus segera pulang, taksinya sudah menunggu di bawah”

TAMAT

 

Posting Komentar

0 Komentar