Meski Rindu Tidak Memiliki Rupa Namun Rindu Memiliki Candu

Marcellina Nur Fadilah
 


Ratusan aksara dari pujangga perihal rindu telah kureguk sejak belia. Kata-katanya begitu indah, aksara yang terlukis begitu syahdu ketika memperbincangkan rindu. Membuat imaji naik ke langit, menerka-nerka seperti apa rasanya? Indah dan resahkah? Tenang bercampur gamangkah? Atau mungkin hanya hampa yang menyandera segala rasa di dada? Sejelas apa pun para pujangga mendeskripsikan rindu, sejelas itu pula aku bertemu dengan kebuntuan tentang rindu. Aku ingin merasakannya, ingin kucumbui rindu itu, menjamahnya lewat angan dan aksara yang menari bersama udara yang tak kasat mata. Setidak-tidaknya ingin kucicipi rindu, meskipun hanya seperti ciuman singkat anak remaja yang mempertemukan bibir dan pipi yang merona. Setidak-tidaknya ingin kucicipi makhluk bernama rindu itu. Sebab, aku iri dengan rindu. Pujangga terlalu sering menasbihkannya. Seakan-akan rindu adalah sejenis dzikir untuk mengingat sesuatu yang agung. Sebab, aku iri dengan rindu. Pujangga selalu menyandingkannya dengan banyak hal indah yang kusayangi. Pujangga menyandingkannya dengan embun di pagi hari atau semburat senja di penghujung hari.

Sebab, aku iri dengan rindu. Selalu seperti itu sejak dulu. Ingin kucicipi ia meski sekilas lalu terbilas. Sebab, aku iri dengan rindu. Selalu seperti itu sejak belia sampai aku dewasa. Ingin kujamah rindu walau tak utuh dan hanya setengah. Sebab, aku iri dengan rindu. Selalu seperti itu sampai aku bertemu dengan mu. Rindu menjadi memuakkan namun mengindahkan rasa yang kupunya. Tak perlu lagi imaji, kini rindu tersaji dengan nyata. Menyembul di balik kegiatanku yang susul-menyusul. Rindu terus merangsak berebut tempat dengan oksigen yang akan masuk ke paru-paruku. Aku tersadar dari angan masa mudaku, Bagaimana rupa wujud rindu itu? bagaimana rasanya? Ternyata, rindu tidak memiliki rupa. Namun, mengisi setiap ruang dalam jiwa. Sejak bertemu denganmu, tak ingin lagi kucumbui rindu, ia sudah menyatu dengan diriku, mengalir bersama darahku yang mendidih terbakar bersama segala rasa yang terus mengakar untukmu.

Musnah sudah rasa iri pada rindu. Sebab, aku bertemu denganmu. Awalnya sehari bertemu denganmu, sudah cukup mengantungi energi untuk tidak bercakap denganmu selama seminggu. Awalnya sehari bercakap denganmu hanya lewat aksara singkat, sangat cukup untuk kepergianmu selama tiga hari tanpa kabar. Awalnya, rindu itu memang kucecapi dengan syahdu. Namun, waktu memuai dan aku yang semakin terbuai. Kata cukup menjadi kosakata yang asing bagiku. Aksara darimu menjadi petuah sakti, memompa darah meronakan pipiku menjadi merah merekah. Kalimat-kalimat darimu dalam percakapan kita menjadi jimat yang mewarnai hari. Ah, tidak. Kata “kita” rasanya terlalu takut untukku sematkan antara aku dan kamu.

Rampung rasa iriku pada rindu. Sebab, semenjak bertemu denganmu. Rindu itu selalu rumpang. Dulu, aku berpikir bagaimana rasa rindu itu? Kini, ternyata rindu tidak memiliki rupa. Namun, rindu memiliki candu. Kini sehari bertemu denganmu, menuntut temu. Percakapan singkat denganmu, menuntut kuselami tanpa tapi. Ternyata rindu memiliki candu. Semakin berupaya kurampungkan rasa rinduku untukmu, semakin rumpang rasa rindu itu.

Dulu, aku ingin mencumbui rindu. Kini, berkatmu rindu menyatu dengan diriku.



Posting Komentar

0 Komentar