Aku Mencintaimu maka Kesalahan Tak Ada | Senandika

Imam Farx
 


Senyumanmu menyita batas-batas nalar dan curiga. Api-api yang menyala saat bulan terbelah menjadi dua, membakar diriku tanpa sisa, melarungkannya saat malam nyaris reda, tak kutemukan kehebatan cinta; selain begitu mudah kuterima ini begitu saja.

Semesta menghamburkan cahaya, gelap hanyalah perkara intensitas. Hal-hal terus berputar mengelilingi kepala, menghisap semua dari mereka. Aku dan hampa adalah sisa. Aku, gelap, dan sunyi adalah kami.

Mata lelaki terus memandangmu dengan taring dan cakar-cakar singa, bersiap memangsa, namun begitu sigap hatiku untuk terluka lebih pertama. Cemburu adalah bola yang memantul-mantul di dada, terpental kemana saja, melebamkan apapun juga. Sudah berapa lama? Mampukah kita menghitungnya? Lalu Benarkah kita tidak lagi saling memuja?

Masihkah kita akan berdiri di tebing pertaruhan? Berjudi untuk siapa yang lebih cepat merelakan? Aku terlilit hutang dengan janji-janji kepada hatiku sendiri, bahwa kelak akan kutatap matamu dengan gembira, akan kugenggam jari-jarimu dengan penuh perlindungan, akan kukecup mesra begitu usai menyemat cincin pengesahan. Tapi apakah seluruh janji akan tertunaikan? Sedangkan yang terus kau berikan adalah rasa sakit tanpa pengecualian.

Aku meraba-raba keadaan, bahwa mungkin hal terbaik sekarang adalah cabut perlahan. Tapi masalahnya, selalu kuanggap bahwa menyerah adalah pertanda kelemahan. Aku yakin, dalam diriku yang egois ini; terdapat jiwa besar penuh ketabahan, dan mencintaimu akan tetap menjadi pilihan. Dalam mengejarmu, tidak kubutuhkan kerumitan rumus, takan kubiarkan istilah “menyerah” tertulis di dalam kamus.

Satu pekan, satu bulan, 365 hari, hanyalah perhitungan matematis, sedangkan seluruh entitas kecuali aku, tak pernah tahu bahwa cinta ini tanpa perhitungan. Sedangkan bukan rahasia lagi bahwa kau menanggapinya dengan penuh ketidakperdulian. Aku bukan sedang mempermasalahkan, toh bukan hanya aku yang punya hati, kaupun punya. Kau bebas memilih siapapun, aku bebas memilihmu. Tak perlu ada yang dipersoalkan, kita memang begitu kompleks dengan perbedaan. Hal yang tentu ada saat manusia mendapat asmara adalah mengharap kesamaan perasaan, ini berusaha kuhindari. Sebab; entah perasaan ini terbalas ataupun tidak, senyumanmu tetap mempesona, aku tetap gembira saat melihatnya. Rasa indah dalam dadaku ini adalah anugerah, jadi tetaplah hasilkan senyum yang senang: terserah dirimu mau dengan siapa, karena aku lebih suka menikmati anugerah daripada luka.

Aku dan kata-kataku telah terjun bebas ke jurang tercuram, bebatuan runcing sudah menancap di sekujur yang tersisa. Bila kau kebetulan menemukan tulisan ini, izinkan dirimu melihat puing-puing yang kembali tersusun. Debarnya masih sama, getarnya tak pernah tiada, deram darahnya masih mengaliri engkau dengan penuh perasaan. Sejauh ini aku memang sudah terlalu pincang, rapuh, dan berjalan gontai sendirian, namun senyumanmu menunggu di depan, di layar-layar kaca yang kusentuh saat lelah menjalariku perlahan. Aku adalah talang air, sebelum semuanya kering, selalu ingin kualiri engkau dengan cinta, meskipun pada perumpaan lainnya; hatimu adalah batu semata.

Ini paragraf terakhir, aku tidak ingin menulis terlalu Panjang. Aku tidak ingin memikirkan lagi dan mengulik duka. Hari juga sudah beranjak sore. Seperti biasa, aku akan memikirkan senyumanmu. Itu lebih menyenangkan daripada memperpanjang tulisan bodoh ini. Kau tidak jahat, hanya kelewat menggemaskan. Kau tidak bersalah, sejak awal memang aku duluanlah yang memulai perasaan. Sudah jangan menyesal, sana pergi mandi, sore ini kau harus tampil cantik di pikiranku.


Posting Komentar

0 Komentar