Resensi Buku Siddhartha Karya Herman Hesse

Syamsul Arifin
 


Hermann Hesse merupakan seorang penyair, novelis, dan pelukis berkebangsaan Jerman, ia lahir pada 2 Juli 1877 dan meninggal pada 9 Agustus 1962. Karya terkenalnya ialah Steppenwolf, Siddhartha, dan The Glass Bead Game. Salah satu karya terkenalnya yang berjudul Siddhartha sangat menarik perhatian saya, terutama karena isi dari ceritanya sangat menginspirasi.

Siddhartha bercerita tentang seorang anak dari Brahmana yang hingga usia 60-an belum dapat menemukan kebahagiaan dan merasakan penderitaan karena ia merasa terkurung di dalam lingkungan yang hanya memperlihatkan orang-orang yang terlihat bahagia, tidak adanya penderitaan, jiwa-jiwa yang tenang, dan selalu mendapatkan kehormatan dari orang-orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, Siddhartha merasakan kegelisahan dari rasa penasarannya terhadap penderitaan, kebahagiaan yang sejati, serta terlepas dari belenggu duniawi. Siddhartha mulai memutuskan untuk keluar dari lingkungan yang hanya menjamin kebahagiaan fana tersebut dan bertekad untuk keluar dari rumahnya hingga mendapat izin dari Ayahnya yang merupakan sang Brahmana yang amat mencintai putranya. Siddhartha mendapatkan izin tersebut dan mulailah ia berkelana dan mengajak kawannya untuk mencari kebahagiaan yang sejati. Pada mulanya ia mencari Samana. Samana merupakan orang-orang yang sedang dan sudah terlepas dari belenggu duniawi, seorang pertapa dengan tubuh yang kurus-kurus. Siddhartha kemudian menjadi seorang murid dari para Samana itu untuk belajar kepada mereka. Siddhartha berpuasa hingga dua puluh delapan hari. Dagingnya mulai menyusut dari paha dan pipinya. Kukunya yang mulai panjang dari jemari-jemarinya yang kering, dan jenggot kasar mulai tumbuh di dagunya.

Pada novel ini, terdapat sebuah absurditas, yaitu ketika Siddhartha mencoba untuk bermeditasi dan melepaskan jiwanya untuk kemudian ia masukkan ke dalam burung Bangau, di sana tertulis: “Burung Bangau terbang melintasi hutan bambu, dan Siddhartha menerima Bangau ke dalam jiwanya, terbang melintasi hutan-hutan dan pegunungan, menjadi Bangau, makan ikan, merasakan tusukan kelaparan seekor Bangau, mengucapkan gaokan Bangau, mati sebagai Bangau.” Dalam kalimat tersebut mengandung absurditas dalam pemahaman bahwa dapatkah seorang manusia memindahkan jiwanya dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tubuh ke tubuh lain, bahkan dari makhluk ke makhluk lain? Dikatakan pula “…mati sebagai bangau” Bukankah jika jiwanya tersebut mati di dalam tubuh lain seharusnya ia juga mati di dalam tubuhnya sendiri? Tetapi, di dalam cerita tersebut Siddhartha mengembalikan jiwanya ke dalam tubuhnya lagi dan melanjutkan meditasinya untuk melatih diri agar menjadi seorang Samana. Sulit dipahami maksud dari perpindahan jiwa tersebut, mungkin beberapa orang menganggap bahwa hal tersebut masuk akal, atau bahkan perpindahan jiwa tersebut dapat saja terjadi.

Selanjutnya, setelah meditasinya bersama para Samana, Siddhartha mendapatkan suatu berita, bahwa ada sosok manusia yang lebih daripada Samana. Dia adalah Gautama, sosok yang dikenal sangat bijaksana, orang yang berilmu, orang pintar, dan dipercaya oleh para pengikutnya bahwa dengan ucapannya dapat menyembuhkan semua yang terserang wabah sampar. Ketika kabar tersebut tersebar ke seluruh penjuru negeri, banyak orang yang mulai percaya dan juga meragukan akan sosok Gautama dengan kesempurnaan yang dimilikinya tersebut. “Menurut mereka yang percaya, ia sudah mempunyai pencerahan tertinggi, ia ingat kehidupan-kehidupannya yang lalu, ia sudah mencapai nirwana dan tak pernah kembali ke dalam siklus, tak pernah lagi tenggelam ke dalam sungai gelap bentuk fisik.” Dalam kalimat tersebut, timbul sebuah tanya, bagaimana seorang manusia dapat mencapai nirwana ketika ia masih hidup? Apakah yang dimaksud dengan tak pernah lagi tenggelam ke dalam sungai dalam gelap bentuk fisik? Apakah itu berkaitan dengan penyucian diri dengan analogi sungai gelap sebagai penyucian diri dari dosa-dosanya ataukah memang hanya sebatas metafora dengan menganalogikan sungai gelap sebagai penderitaan?

Siddhartha dan kawannya bernama Govinda mulai meninggalkan para Samana tua yang sudah mengajari mereka banyak hal dan memutuskan untuk mulai mencari Gautama. Tetapi, sesampainya mereka di tempat sang Gautama tinggal, terjadilah konflik antara persahabatan Siddhartha dan Govinda karena Govinda memilih untuk berhenti mengikuti jejak Siddhartha dan mulai menapaki jalan baru, kehidupan yang ingin ia tuju, yaitu menjadi murid daripada Gautama, sang Buddha. Govinda mulai meninggalkan Siddhartha, dan ia mulai mengikuti sang Gautama. Siddhartha kini melanjutkan pencariannya seorang diri. Sebelum Siddhartha melanjutkan pencariannya, ia sempat bertemu dengan Gautama dan berbincang dengan yang mulia Gautama untuk sekaligus mengutarakan apa yang Siddhartha tidak setujui dari ajaran Gautama tersebut, Siddhartha mengatakan: “Namun ada satu hal yang tidak terkandung dalam ajaran yang begitu jernih yang sangat patut dihormati itu: ajaran itu tidak mengandung misteri dari apa yang sudah dialami sendiri oleh dia yang mulia, hanya oleh dia di antara ratusan ribu orang.” Dari perkataannya tersebut, jelas bahwa Siddhartha menemukan celah dari ajaran sang Budha dan itulah alasan kenapa ia tidak ingin mencari perlindungan di bawah bayangan Gautama.

Siddhartha kemudian melanjutkan perjalanannya seorang diri. Lama kelamaan ia mulai kembali terlena dengan gejolak duniawi. Siddhartha penasaran dengan rasanya memadu kasih, berjudi, meluapkan emosi, hingga ia mulai jauh dari apa yang selama ini ia pelajari. Absurditas inti mulai terlihat dari penggalan kisah Siddhartha tersebut. Dengan memperlihatkan sosok Siddhartha yang sangat lain daripada orang bijaksana, ia terbelenggu oleh hasrat duniawi, mencicipi banyak sesuatu yang selama ini ia cemooh seorang diri. Perubahan sifat drastis ini memunculkan tanda tanya besar, apakah selama ini Siddhartha dipenuhi nafsu seperti orang lain pada umumnya tetapi dia mencoba menahan dan mengontrol nafsunya tersebut agar dapat terlihat bijaksana atau kah ia memunculkan nafsu tersebut dari kekosongan batinnya yang memang pada mulanya dia sangat suci?

Tetapi pada akhirnya, Siddhartha belajar dari pencariannya tersebut, dari yang ia rasakan ketika terbelenggu oleh hal yang sifatnya duniawi. Siddhartha mendapat banyak sekali pelajaran, dari mulai cara dia menyikapi hawa nafsu sebagai bentuk dari penderitaan itu sendiri, awal dari kehancuran, serta penghalang dalam pencariannya akan kebahagiaan sejati. Siddhartha menjadi seseorang yang sangat bijaksana setelah menemukan apa yang selama ini ia cari.

Dalam novel ini, penulis sangat ingin memperlihatkan bagaimana sesungguhnya kebahagiaan sejati itu, serta ia ingin mengajak pembacanya untuk benar-benar menyelami imajinasinya tersebut dengan menggunakan kalimat sangat sastrawi dan perpaduan antar katanya tidak membuat bosan sama sekali. Penggambaran latar dari cerita Siddhartha ini begitu jelas dan terarah. Sehingga, pembaca akan sangat mudah memahami maksud dan tujuan serta nilai yang terkandung di dalam isi ceritanya tersebut. Sama seperti karyanya yang lain, Hermann Hesse penulis berkebangsaan Jerman ini sangat apik sekali dalam membuat suatu karya, ia benar-benar dapat menyampaikannya dengan baik. Kebanyakan dari novel lain yang ia tulis, seperti novelnya yang berjudul Steppenwolf dan Demian, ia konsisten dengan penggambaran cerita yang unik dan menarik, kedua novel tersebut dari sejauh pembacaan saya, memang selalu memperlihatkan absurditas yang penuh makna.

Dalam novel Siddhartha pun, ia berhasil menunjukkan penggambaran hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia dengan manusia lain digambarkan dengan begitu apik, mulai dari persahabatannya dengan Govinda, hubungannya dengan keluarganya, cara dia memperlakukan manusia lain, cara dia menjadi seorang murid dari para Samana, dan juga cara dia berkonfrontasi dengan para penjudi dan pergolakan nafsunya dengan wanita. Semuanya memiliki kompleksitas yang tidak hanya berhubungan dengan manusia pada lingkup tertentu saja, tetapi sang penulis mampu melakukan observasi dengan pengamatan yang sangat dapat diterima oleh para pembacanya. Hubungannya dengan alam diperlihatkan ketika Siddhartha mencoba bermeditasi di dalam hutan, berkontemplasi di pinggir danau, dengan objek alam yang menurutnya lebih hidup daripada kehidupan yang ia jalani. Hubungan manusia dengan Tuhan memang tidak begitu kentara dalam penggambarannya di dalam novel ini, tetapi mungkin yang terjadi adalah manusia yang paling bijaksana dengan segudang keilmuannya, dan yang sudah terlepas dari belenggu duniawi adalah sosok yang paling mulia dan agung sehingga bisa dikategorikan sebagai yang maha bijaksana, seperti halnya Gautama, sang Budha, yang begitu dikagumi oleh semua orang tatkala orang-orang melihat cara dia berjalan, berbicara, berpakaian, tersenyum, wajah yang tidak memperlihatkan emosi negatif, ketenangan dalam jiwanya, itulah yang mungkin dapat dianggap sebagai yang maha bijaksana dalam novel tersebut. Novel ini bisa disebut sebagai representasi dari kisah Siddhartha Gautama dengan penelusuran historisitas yang masih dapat dipahami dan dicerna oleh akal kita karena lebih terfokus pada humanitas yang dapat dirasakan dan dialami dari sebagian kisahnya.



Posting Komentar

0 Komentar