-
Puisi-puisiku layu, maaf kepadanya
Entah karena tak layak ada di mana-mana
atau memang tak pakai pena kesukaan
Maaf lagi, puisi-puisiku sudah dipenjara.
Kini di hadapanku – eksistensi jadi nomor satu untuk dapat esensi
Pantas saja puisiku tinggal batang tubuh tanpa kepala
Celoteh dirinya menggambarkan kepuasan
Tak pantas terbit – selain hanya dipajang di tembok lusuh
yang coretannya penuh demonstrasi
Pada bambu yang hampir roboh – manusia harus menderita
Belajar mengenal kehidupan – tetapi tuhan tak mau kami sengsara
Tak peduli dengan yang terjadi,
asal bangku-bangku itu jadi milikku.
Berjalan sendiri tak jadi soal
Sendirian dengan banyak tahta dan harta
Sudah seperti ramai walau isi hati melarat
Waktu mengambil masa jomponya – minum teh berdua tak jadi nikmat
Menyibukkan diri cari formalitas atau suara di papan yang terpajang.
Ah sial, ini sebenarnya penderitaan memberikan cermin hitam
Tak mengenal dirinya – selain hanya hampa
Lagi-lagi kekuasaan, menguasai tubuhnya dan puisiku mati dimakan rayap.
0 Komentar