Woke Culture yang kian mengental di Politisasi

Penulis: MR. Alva Rizky
 
|Dewasa ini Woke Culture yang sering kita lihat di media sosial kian mencuat. Fenomena budaya ini lahir atas isu-isu kesetaraan yang kerap dipropagandakan. Terminologi “Woke” digunakan sebagian besar oleh orang kulit hitam di kalangan aktivis, terutama setelah fenomena Black Lives Matter, hal ini memberikan urgensi untuk menandakan kesadaran seputar masalah rasial di Amerika. Istilah ini masih digunakan dalam konteks yang sama dalam hal kesetaraan yang acap mendapatkan deskriminasi dan tidak diberikan ruang untuk berekspresi di Amerika Serikat baru-baru ini. Terminologi itu telah diadopsi sebagai semboyan di mana-mana untuk berbagai gerakan sosial, termasuk masalah LGBTQ, feminisme, imigrasi, perubahan iklim, dan komunitas yang terpinggirkan. 
 
Januari 2021 silam, Joe Biden secara resmi dilantik sebagai presiden ke-46 Amerika serikat dan membuat  istilah Woke ini semakin mencuat dalam politik. Woke menjadi budaya baru di amerika serikat dan terus akan menjadi manuver politik yang memicu Liberalisme yang tampak terlalu bablas di AS sejauh ini. Maka tak heran budaya baru ini cenderung memutarbalikkan keadaan masyarakat AS menjadi tidak menyukai Biden. Yang sejatinya “Woke” adalah untuk membangunkan dengan corak humanisme, justru menjadi racun yang sangat berlebihan.  
 
Ketika kita melihat kondisi Woke Culture Seperti halnya dalam eksistensi film saat ini, dimana bukan lagi ajang mewadahi imajinasi penulis dan sutradara semata. Di era yang serba digital ini dengan mudahnya mengakses informasi seiring meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia, film dapat menjadi alat yang berguna bagi pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan political stand, ideologi, dan propaganda tertentu. Woke Culture yang terselubung dalam hal itu tak lain memiliki kepentingan untuk membangkitkan kesadaran akan inklusivitas dan melawan streotip lama dengan membawa kesadaran akan keadilan. Sekonyong-konyong Woke Culture justru mencuatkan bumbu-bumbu yang inklusivitas serta agenda politik sebagai strategi pemasaran Ini sebagai manuver untuk mempropagandakan kesetaraan, jika tidak dibaluti akan keadilan dan kesetaraan tentunya komunitas Wokeism akan menkritik lebih jauh karena tidak ada unsur untuk membangkitkan. Memang jika melihat dari sisi para pemangku kepentingan dalam industry film ini merupakan peluang bisnis mereka, sebab kita melihat eksistensi komunitas yang bersemboyan woke ini begitu banyak yang bermunculan sehingga mereka memiliki pasar untuk mendapatkan keuntungan melalui wokeism namun justru yang ditemui dalam film-film kerap memunculkan bentuk diversity dan equality yang kesannya begitu memaksakan untuk dimasukkan.

Hal Ini yang tentunya memperburuk citra Woke itu sendiri, yang semula istilah ini dapat dikonotasikan sebagai hal yang positif dengan membangkitkan kesadaran akan isu-isu sosial dan gerakan melawan ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan prasangka. Namun, itu justru begitu melebar terlalu jauh sehingga telah melemahkan maknanya dan gagasan itu telah diterapkan secara sinis pada segala hal dengan menarik kritik jika diterapkan terlalu bebas.

Selain itu dalam rapat kongres ke-117 menjadi sorotan banyak pihak nasional maupun internasional, pasalnya anggota DPR bernama Emanuel Cleaver kala itu memimpin sebuah doa yang mengucapkan kata “Amen and A-woman”. Sebagai bentuk yang mengarahkan pada inklusivitas gender dalam kata tersebut dan menormalisasikan istilah atau kata tersebut supaya terdengar lebih gender neutral. Yang dalihnya dengan mengakhiri kata itu merupakan bentuk permainan kata-kata ringan sebagai pengakuan atas rekor jumlah wanita yang akan mewakili rakyat Amerika di Kongres selama masa jabatan dalam rezim biden. Tentu ketika kita berpikir secara rasional perihal ini konyol sekali, jikalau ingin mengapresiasi hal tersebut terminology kata yang telah menjadi kesepakatan umum tidak perlu dirubah atau membentuk kesepakatan baru lagi. Sebab, mengingat kata Amin atau Amen itu tentunya tidak mengacu pada gender pria, pada dasarnya sudah memang sudah memang ketentuan yang diajarkan dalam agama Abrahamik/Samawi yang bermakna "agar dikabulkan". Hal ini memicu berbagai respon, tentunya berdasarkan fenomena itu menuai berbagai kritikan dan lelucon dari masyarakat global serta kaum konservatif di AS.

Selain itu dalam hal Militer unsur wokeism juga kerap dimunculkan dalam pengrekrutan militer dalam kepemimpinan Joe Biden, memang ini menjadi suatu polemic dikalangan konservatif yang implikasinya banyak orang disana yang tidak menyukai disamping para pendukungnya Donald Trump. Kita tahu bahwa AS yang begitu ditakuti dalam hal militernya yang memiliki pengalaman tempur serta sangar menampilkan impresi yang powerful sebagai negara adikuasa, kini dalam iklan tersebut dimana dalam beberapa waktu lalu AS mempublikasikan pengrekrutan anggota militer melalui video di kanal youtube yang berjudul “EMMA | THE CALLING | GOARMY” unsur superioritas militer tersebut seolah olah hilang yang justru menjadi bahan olok-olokan serta jadi ajang untuk mengkomparasikan dengan negara negara lain seperti Russia dan China terkait iklan pengrekrutan militer yang lebih memamerkan unsur arogansi dalam militer.

Budaya Woke ini terlihat aneh dan menyeleweng dari makna yang mereka perjuangkan dan cenderung menjadi berlebihan terhadap sikap mereka, dan dimana wokeism ini akan terus menerus dipropagandakan jika kita melihat kondisi Amerika Serikat di era sekarang dan cenderung dilihat ini menjadi salah satu gerak politik Joe Biden dalam kepemimpinanya, Adapun dalam kepemimpinannya Woke Culture ini semakin merangsang dalam memunculkan eksistensinya karena didukung bagaimana sikap pemimpin dalam gaya politik yang ia citrakan. Namun, ini semacam bentuk baru yang terlihat oleh Amerika Serikat dimana memang cenderung pendekatan yang disajikan memperlihatkan hal yang soft ketimbang hard power. Salah satunya woke menjadi langkah dalam menciptakan budaya baru amerika yang terlihat dewasa ini. walaupun banyak pandangan yang mengeluhkan bahwa amerika justru semakin kehilangan citra sangar yang ia wariskan dalam segi politik dan militer sebelumnya.


Referensi:

Bacon Jr, Perry. “Why Attacking ‘Cancel Culture’ And ‘Woke’ People Is Becoming The GOP’s New Political Strategy | FiveThirtyEight.” FivethirtyEight.com, March 17, 2021. https://fivethirtyeight.com/features/why-attacking-cancel-culture-and-woke-people-is-becoming-the-gops-new-political-strategy/.

Mastrangelo, Dominick. “Cleaver Concludes Congressional Prayer with ‘amen and Awoman’ | TheHill.” The Hill, April 1, 2021. https://thehill.com/homenews/532547-cleaver-concludes-congressional-prayer-amen-and-awoman?rl=1.

Mirzaei, Abas. “Where ‘woke’ Came from and Why Marketers Should Think Twice before Jumping on the Social Activism Bandwagon.” Theconversation, September 9, 2019. https://theconversation.com/where-woke-came-from-and-why-marketers-should-think-twice-before-jumping-on-the-social-activism-bandwagon-122713.

Utama, Nadia. “Woke Hollywood: Membaca Fenomena ‘Woke Culture’ Di Dunia Film Amerika Serikat – DIKOM UGM.” DIKOM, September 30, 2020. https://dikom.fisipol.ugm.ac.id/woke-hollywood-membaca-fenomena-woke-culture-di-dunia-film-amerika-serikat/.

 

 

 
 

Posting Komentar

0 Komentar