Integrasi Islam dalam Budaya Kultur Melayu, Riau: Langkah Awal dalam Semangat Rasionalisme

Nabila S Andini

-

Masuknya Islam dalam dunia Melayu merupakan satu tahapan baru dalam perkembangan peradaban Melayu. Dalam pandangan al-Attas Islam telah menimbulkan suatu semangat rasionalisme dan intelektualisme serta telah menggeser pandangan-pandangan lama yang penuh dengan mitos dan mistis. Pandangan serupa juga diajukan oleh Najib, bahwa Islam telah mampu mengubah kehidupan sosio-budaya dan tradisi kerohanian masyarakat Melayu-Indonesia. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tak terlihat pada masa Hindu-Buddha. Perpindahan masyarakat Melayu Indonesia dari sistem keagamaan dan budaya Hindu-Buddha kepada Islam disamakan Najib dengan perubahan pandangan dunia barat yang semula dipengaruhi mitologi Yunani kepada nalar dan pencerahan12. Bahkan Wan Abd. Kadir13 mengatakan dengan datangnya Islam dalam dunia Melayu, menandakan orang Melayu telah memasuki tahap moderen. Pengaruh Islam di dunia Melayu atau Asia Tenggara umumnya memang luar biasa, di mana Islam mampu menggeser dan mengganti kedudukan agama dan kepercayaan sebelumnya – animisme-dinamisme, Hindu-Buddha – dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga Anthony Reid14 mengatakan telah terjadi suatu “revolusi agama” di kalangan masyarakat Asia Tenggara. Hampir semua kerajaan di kawasan Melayu, mulai dari daerah pesisir sampai ke pedalaman secara berangsur-angsur memeluk Islam, dan sekitar abad ke 15- 17, kawasan Asia Tenggara telah mencapai puncak Islamisasi.

Riau – sama seperti daerah lainnya di Nusantara – pada awalnya juga berada di bawah pengaruh agama Hindu-Buddha, terutama agama Buddha telah memainkan peranan yang penting pada masa Kerajaan Sriwijaya. Masuknya Islam di daerah Riau – khususnya di Siak – di duga berasal dari Melaka yang menganut mazhab Syafi’i15. Apalagi kesultanan Riau – baik Kerajaan Riau-Lingga, maupun Kerajaan Siak – merupakan kelanjutan (mewarisi) tradisi Kesultanan Melaka Johor. Bahkan Sultan Siak mempunyai hubungan darah dengan Sultan Melaka, dan Siak pada waktu itu jelas berada di bawah kekuasaan Melaka16. Masuknya Islam di daerah Siak, tidak hanya mengganti agama mereka yang sebelumnya, tetapi secara berangsurangsur telah mempengaruhi budaya Melayu Siak – atau Riau umumnya – secara keseluruhan. Dalam pandangan Yusmar Yusuf hampir semua pola kehidupan orang Melayu telah diwarnai oleh agama Islam. Dari sinilah munculnya pandangan bahwa “Islam identik dengan Melayu”

Pandangan Islam identik dengan Melayu, bisa dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi cara berfikir (the thinking way), dan dari sisi berperilaku (attitude). Pada sisi pertama, kehadiran Islam dalam masyarakat Melayu telah membangkitkan ‘mati ide’ dan ‘mati tamaddun’, sehingga munculnya suatu semangat rasionalisme dan intelektualisme. Kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan yang universal memiliki semangat toleransi yang tinggi, dan menghargai perbedaan, baik perbedaan pendapat, aliran, pandangan, dan lain-lain yang dipandang sebagai suatu hikmah. Masyarakat Melayu juga mudah menerima (receive) berbagai pikiran dan tamaddun yang datang. Demikian juga halnya Islam sebagai agama universal, juga mengarifi persoalan kepelbagaian (diversity) baik berupa aliran, pikiran, pemahaman, pandangan, dan lain-lain yang dipandang sebagai hikmah. Oleh karena itu dari segi tamaddun pikir (the thinking way) Melayu dekat sekali dengan Islam, sehingga budaya Melayu mampu menampung ‘ide-ide’ Islam yang universal itu, dan akhirnya mempermudah proses penerimaan Islam oleh orang Melayu dan terjadilah integrasi antara Islam dengan budaya Melayu, yang melahirkan pandangan Islam identik dengan Melayu.

Pertemuan Islam dengan budaya Melayu terjadi dalam keadaan yang seimbang dan sulit diungkapkan mana unsur-unsur yang berasal dari Islam dan mana unsur-unsur yang berasal dari Melayu. Melayu bukan hanya semata-mata persoalan geneologis, tetapi yang terpenting merupakan wilayah kultural yang merupakan ‘state of mind’, demikian juga dengan Islam merupakan ‘state of mind’. Pertemuan Islam dengan budaya Melayu – meminjam istilah Yusmar Yusuf – terjadi pada ‘padang datar’ yang lebih berimbang sehingga tidak ada yang ‘terjajah’ – ini berbeda dengan yang terjadi di Jawa, pertemuan Islam dengan budaya Jawa terjadi pada ‘padang miring’, Islam berada di bawah (little tradition), sedangkan budaya Jawa berada di atas (great tradition) 18, dan Islam (yang berada di bawah) harus secara perlahan-lahan menggerogoti budaya Jawa (yang berada di atas) agar ia tetap eksis. Bahkan pertemuan Islam dengan budaya Melayu merupakan suatu bentuk akomodasi dan hubungan timbal balik (reciprocal) di mana Islam sudah di Melayu-kan atau Melayu yang sudah di Islam-kan. Integrasi Islam dalam budaya Melayu dalam istilah Tenas Effendy disebut ‘persebatian’ (satu kesatuan yang sangat kokoh dan tidak mungkin dipisahkan), yang dalam ungkapan adat diibaratkan sebagai berikut;

Bersebatinya mata putih dengan mata hitam
Rusak mata putih binasa mata hitam
Rusak mata hitam binasa mata putih
Bukan seperti bersebati kuku dengan daging
Kuku bisa maju, daging tetap tinggal
Bukan seperti aur dengan tebing
Aur menumpang ke tebing
Sedang tebing tidak menumpang ke aur

Pada sisi kedua, yaitu perilaku (attitude) orang Melayu banyak memuat nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan oleh Islam. Seperti budaya malu dalam masyarakat Melayu, sebelumnya orang malu karena telah melanggar ketentuan adat. Setelah Islam datang pemahaman ini diluruskan orang malu karena melanggar ketentuan-ketentuan agama di samping ketentuan-ketentuan adat yang tidak bertentangan dengan agama. Dalam bidang perdagangan berlaku adil dan jujur terhadap konsumennya. Begitu juga sikap memuliakan tamu atau pendatang sudah menjadi kebiasaan orang Melayu yang juga diajarkan oleh Islam. Dari sikap inilah timbulnya toleransi dalam pribadi Melayu, dan mewujudkan hubungan antar-etnik yang baik. Dari segi berpakaian, pakaian orang Melayu sudah lama mengenal pakaian yang menutup aurat atau dalam istilah Melayu disebut ‘baju kurung’ yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan, dan ini jelas sejalan dengan yang diajarkan oleh Islam19. Baju ini dinamakan ‘baju kurung’ karena ia dikurung oleh syari’ah (hukum Islam) dan ciri baju kurung ialah, menutup aurat, bahannya tidak terlalu tipis, dan tidak membentuk lekuk tubuh (terlalu sempit).

Salah satu perwujudan yang memperlihatkan bahwa Melayu identik dengan Islam dan yang memadukan antara ide-ide agama dan politik terlihat dari lambang yang dipakai oleh Kesultanan Siak. Lambang Kesultanan Siak ini berwujud dua kata nama Nabi Muhammad, yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu, Posisi tulisan Muhammad itu dibuat bertindihan atau bertangkup sehingga lambang Kesultanan Siak dinamakan ‘Muhammad Bertangkup’.


Posting Komentar

1 Komentar