Brian Ompong; Sebuah cerpen Ramli Lahaping

Ramli Lahaping
 


Dahulu, Brian ingin jadi artis. Ia merasa tampan. Wajahnya serupa aktor indo yang kerap menghiasi layar-layar tontonan. Karena itu, ia mencoba peruntungannya pada setiap kesempatan yang ada. Ia mengikuti kontes model, hingga mengikuti seleksi untuk menjadi pemeran sinetron atau film. Ia berharap cara itu membuka jalan bagi kesuksesannya.

Tetapi upayanya itu, ternyata tak mampu membawanya pada titik yang ia inginkan. Pencapaian terbaiknya sebatas menjadi pemeran utama sebuah film pendek tentang percintaan muda-mudi produksi temannya sendiri. Karena itulah, ia kebingungan memikirkan nasibnya. Ia tak tahu harus melakukan apa untuk membuat dirinya jadi artis ternama.

Kekalutannya pun makin menjadi-jadi, sebab keinginannya menjadi artis top, juga dipacu oleh hasratnya untuk menaklukkan hati seorang wanita. Ia ingin membuat dirinya berharga, supaya sang wanita luluh di hadapannya. Dan menjadi artis beken yang bergelimang harta dan pujian, adalah jalan terbaik untuk harapan besarnya itu.

Ia memang telanjur jatuh hati kepada Rosa yang cantik dan pendiam. Perempuan itu adalah seangkatan dan sejurusannya di kampus. Setelah sekian lama mengidamkannya, ia pun menyatakan perasaannya. Namun sayang, ia mendapatkan penolakan. Bahkan setelah ia melakukan percobaan sebanyak empat kali, hasilnya tetap sama.

"Kenapa sih kau tidak mau menjadi kekasihku? Apa kurangnya diriku?" tanya resah Brian kepada Rosa, di sebuah bangku taman kampus, dua tahun yang lalu, pada momen terakhir pernyataan perasaannya yang kembali tertolak.

Rosa hanya terdiam dengan raut datar. Ia tampak kebingungan menyikapi tekad keras Brian untuk mendapatkan hatinya.

"Apa aku ini kurang tampan, kurang bermodal, dan kurang romantis?" selidik Brian, seperti tak habis pikir atas penolakan yang ia terima.

Rosa lantas menggeleng-geleng dan mengembuskan napas yang panjang. "Bukan karena itu semua," tanggapnya, tegas. "Aku hanya tidak bisa menerimamu."

"Kenapa?" sergah Brian.

"Ya, karena aku tak punya perasaan kepadamu. Kau tak menyenangkan bagiku. Kau tak bisa membuatku gembira agar aku bisa melupakan masalah-masalahku," balas Rosa, penuh penekanan, seolah ingin agar Brian berhenti mengharapkannya.

Seketika, mulut Brian tersekat. Ia tampak kehilangan bahasa untuk menanggapi.

"Kau seharusnya mengerti kalau perasaan tidak bisa dipaksakan," pungkas Rosa, kemudian berdiri dan melangkah pergi, tanpa merasa perlu untuk meminta maaf lagi.

Sejak saat itu, Brian belajar menerima kenyataan kalau perasaannya kepada Rosa memang bertepuk sebelah tangan. Ia berupaya menerima penolakan itu, meski Rosa tak benar-benar memberinya keterangan yang jelas. Ia merasa, setidaknya, ia telah berjuang dengan sungguh-sungguh. Kalau Rosa kukuh menolaknya, ia menyadari, itu sudah di luar kuasanya.

Atas pemahaman itu, Brian sama sekali tak membenci Rosa. Sebaliknya, ia tetap mencintai Rosa, meski tidak dengan memilikinya. Ia bahkan makin memedulikan Rosa yang jadi makin pendiam, seolah menyimpan rahasia yang memilukan. Ia sungguh ingin mendampingi dan menghibur Rosa sepanjang waktu. Tetapi ia tak bisa apa-apa, sebab ia bukanlah siapa-siapa.

Namun diam-diam, Brian mulai membaca penyebab kekalutan Rosa. Dari hasil penelusurannya di internet dan hasil pengulikannya pada teman-teman dekat Rosa, ia akhirnya tahu kalau orang tua Rosa telah bercerai. Ayah Rosa yang seorang bule telah pulang ke negara asalnya, sehingga Rosa hanya tinggal bersama ibunya di kota ini dengan menanggung beban hidup berdua.

Tetapi pada waktu kemudian, rasa prihatin dan rasa cinta Brian untuk Rosa, terkubur oleh rasa kesal dan bencinya. Akhirnya, ia tahu juga kalau Rosa dekat dengan Jio, seorang lelaki sekampus mereka juga, yang ia rasa tak pantas mengalahkannya dalam perebutan hati Rosa. Ia merasa Jio lebih jelek dan lebih buruk dalam hal apa pun ketimbang dirinya.

Namun sial bagi Brian, Rosa sendiri tampak senang berada di samping Jio yang terkenal sederhana dan humoris. Pada banyak kesempatan, ia bisa melihat kelekatan mereka di lingkungan kampus. Entah di kantin, perpustakaan, ruang kelas, dan di mana-mana. Sampai akhirnya, ia tak tahan lagi memendam rasa cemburunya. Ia ingin meluapkannya.
 
Pada satu hari, Brian pun memutuskan untuk menemui Jio. Dengan amarah yang memuncak, ia menghampiri Jio di area parkir kampus. Ia ingin berperkara dengan lelaki berambut kribo dan bergigi gingsul itu. Ia sudah kehilangan kesabaran setelah orang terdekat mereka terus menggunjingkan dan merendahkan dirinya yang kalah mendapatkan hati Rosa.

Dan pada saat itu, terjadilah percekcokan antara Brian dengan Jio. Mereka beradu mulut perihal kepantasan diri mereka untuk bersanding dengan Rosa. Hingga akhirnya, mereka beradu pukulan dan tendangan, dan baru berhenti setelah orang-orang melerai. Mereka pun sama-sama terluka. Hidung Jio berdarah, dan satu gigi seri atas Brian tanggal.

Akhirnya, setelah kejadian itu, citra diri Brian berubah. Ia yang sebelumnya terlihat tampan, seketika terlihat kurang menawan. Ia seolah kehilangan daya tarik dan kharismanya.  Karena itu pula, orang-orang yang dahulu mengagumi dan menyegani tampakan fisiknya, perlahan mulai menyindir dan menertawakan penampilan barunya.

Tentu Brian merasa berat kehilangan ketampanan yang merupakan modal utamanya untuk menjadi artis top. Tetapi waktu demi waktu, ia terus belajar untuk menerima keadaan barunya itu. Hingga akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa menyikapi pandangan orang-orang dengan biasa saja. Ia bahkan mulai enteng menertawakan keompongannya sendiri.

Perlahan-lahan, anggapan khalayak terhadap dirinya pun jadi berubah. Orang-orang yang dahulu menilainya rupawan dan pantas jadi aktor, berbalik menilainya kocak dan cocok jadi pelawak. Dan uniknya, Brian malah tak keberatan atas pandangan itu. Ia tampak menerimanya dengan lapang dada. Ia bahkan sengaja membangun citra barunya tersebut.

Sampai akhirnya, datanglah kesempatan bagi Brian untuk menjadi pesohor. Setahun yang lalu, di kotanya, sebuah stasiun televisi nasional mengadakan audisi kontes stand-up comedy. Dengan antusias, ia ikut dengan membawakan lawakan perihal keompongannya. Atas kelihaiannya, ia pun lolos. Ia bahkan terus melaju ke babak selanjutnya, hingga menjadi juara ketiga.

Dan hari ini, pada momen temu alumni sefakultasnya di auditorium kampusnya dahulu, Brian dihadirkan panitia sebagai penghibur. Setelah memperkenalkan diri layaknya komika profesional, ia lantas melawak dengan menghinakan dirinya sendiri. Hingga akhirnya, di pertengahan waktu pementasannya, ia menyinggung kisah cintanya yang tak berbalas:

“Dahulu, aku mirip aktor beken idola kalian. Karena merasa tampan, aku percaya diri menyatakan perasaanku kepada seorang perempuan. Aku rasa, aku seharusnya bisa menaklukkannya. Tetapi ternyata tidak,” tutur Brian, dengan raut yang berubah muram. “Sampai akhirnya, aku tahu kalau alasannya karena rambutku yang lurus, sedangkan ia suka pria dengan rambut bergulung kayak penggosok wajan. Dan itulah satu-satunya kekuranganku di matanya.”

Para hadirin pun terkekeh mendengar sindirannya.

“Sialnya, setelah aku makin tampan dengan gigi ompongku ini, ia malah makin lekat dengan si kribo yang bergigi gingsul itu,” sambungnya, lantas menggeleng-geleng dan memampang wajah kecewa. “Aku jadi heran, kenapa sih sebagian orang bisa menganggap orang bergigi gingsul itu lucu? Lucu apanya? Yang lucu itu, ya, yang giginya ompong, seperti aku,” ujar Brian, kemudian menyengir untuk mempertontonkan ketanggalan satu gigi seri atasnya.

Menyaksikan tingkahnya, orang-orang sontak tergelak.

Brian lalu meminta pendapat, “Coba kalian perhatikan, balita-balita itu lucu-lucu, kan? Benar, kan?”

Orang-orang mengangguk dan membenarkan.

“Ya, itu sebabnya karena mereka ompong atau sama sekali tak punya gigi. Coba bayangkan kalau balita-balita punya gigi yang lengkap dan utuh, gingsulan pula, lucu tidak?” tanyanya, lalu mendengkus. “Yang ada malah menakutkan, kayak bayi drakula, kribo pula.”

Mereka kembali tertawa.

“Ya, jadi kesimpulannya, kepada si perempuan yang dahulu pernah menolak perasaanku berkali-kali: semoga kau menyesal,” tuturnya, dengan raut sinis. “Hai, kau yang dahulu bilang aku tidak menyenangkan untukmu, lihatlah, sekarang, aku bisa menyenangkan semua orang, dan aku merasa tidak pantas lagi untuk menyenangkanmu.”

Para penonton seketika berseru menyaksikan keangkuhannya, seolah-olah mereka turut menyindir sang perempuan yang disinggungnya, yang tiada lain adalah Rosa.

Diam-diam, Brian merasa berhasil membuat pemirsanya tertawa lepas. Pada saat yang bersamaan, ia lega telah meluapkan unek-uneknya kepada Rosa yang berada di antara para hadirin, di samping Jio yang telah resmi menjadi suaminya. Ia puas melihat keduanya mati kutu di antara orang-orang yang sebagiannya tahu perihal kisah segitiga di antara mereka.

“Baiklah. Karena batas durasi, aku cukupkan sampai di sini,” tuturnya, dengan sikap hormat. “Aku Brian Ompong. Selamat siang, dan sampai jumpa,” pungkasnya, kemudian meninggalkan panggung dengan langkah tenang.
 

●●● 

Ramli Lahaping

Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).



 

Posting Komentar

0 Komentar